Rabu, 20 Januari 2010

REKONSILIASI BUDAYA UNTUK INTEGRASI BANGSA



A. Pendahuluan
Khazanah budaya Indonesia lahir sebagai hasil sentuhan tangan kreatif bangsanya. Melalui hasil cipta, rasa dan karsa manusia, kebudayaan lahir sebagai entitas dan identitas serta simbol bagi sebuah peradaban. Entitas budaya memberikan interpretasi bagi eksistensi pemiliknya. Sementara, identitas mengisyaratkan suatu ciri khas yang melekat erat pada kelompok. Kemudian simbol diberikan sebagai falsafah dan nilai kebesaran bagi semangat perjuangan untuk melanjutkan kemajuan peradabannya.
Berangkat dari integritas budaya yang melekat dengan bangsa, proses interaksi masyarakat akan semakin memberikan nuansa perubahan. Kerangka damai dan sejahtera semakin dimiliki oleh antarindividu dan antarkelompok sebagai suatu bangsa atau penduduk suatu negara. Perdamaian dikalangan para kelompok merupakan harga mahal bagi berlangsungnya integritas bangsa. Maka budaya sebagai entitas masyarakat menjadi perekat dan pemersatu untuk mendirikan negara kesejahteraan.
Keindahan khazanah budaya bangsa berjalan beriringan dengan proses dinamisasi (yang cenderung modern) masyarakat. Proses perubahan budaya telah mulai sejak peradaban barat merasuk ke dalam keanekaragaman bangsa Indonesia, tepatnya ketika budaya pasar menggerus sektor perekonomian. Budaya bangsa terkotak-kotak akibat munculnya kelas dalam masyarakat, yang tiada lain tumbuh bersemi proses kapitalisasi dan sekularisasi dari pola interaksi pasar.
Kuntowijoyo mendeskripsikan bahwa perubahan sosial terjadi ketika masing-masing anggota masyarakat memasuki pasar dengan hubungan kontraktual. Ikatan-ikatan tradisional seperti keluarga, tetangga, profesi dan kepercayaan digantikan oleh ikatan rasional berdasarkan kedudukan kontraktual masing-masing dengan lembaga-lembaga ekonomi. Masyarakat terkooptasi menjadi kelas-kelas sosial, membedakan kelas dengan ukuran modal (harta) atau memisahkan antara kaum kaya dan kaum miskin.
Keberadaan masyarakat yang semula tata tentrem karta raharja menjadi situasi gelisah, panik dan bingung bagaimana bisa bertahan hidup. Konsep gotong-royong yang menjadi falsafah hidup bangsa, yang selalu mengedepankan sepi ing pamrih rame ing gawe dan saling asah, asih, asuh satu sama lain dalam membangun peradaban, semakin tergerus oleh adanya kasta atau kelas sosial dalam masyarakat. Membedakan antara kaum buruh dengan para pemilik modal.
Sikap individualistik menjadi cerminan bagi kaum pemilik modal, semakin menjamur sifat hedonis dan materialis memisahkan tali persaudaraan sebangsa dan setanah air. Apabila kondisi ini dibiarkan begitu saja, masyarakat akan mudah terbawa arus globalisasi. Negatifnya, masyarakat terkooptasi oleh situasi dan kondisi ekonomi yang semakin rentan dengan perpecahan dan permusuhan. Kondisi semacam ini tidak menutup kemungkinan dan sangat mudah melahirkan sebuah konflik bangsa. Kecenderungan konflik akan semakin jelas ketika ada keberpihakan sistem dari penguasa kepada kelompok tertentu. Baik konflik secara internal kelompok, konflik antarkelompok dan diperparah dengan munculnya konflik horizontal dan konflik vertikal yang berbasis SARA.
Konflik merupakan bagian yang terkadang terjadi dalam kehidupan masyarakat, baik antarindividu maupun antarkelompok yang disebabkan lebih karena perbedaan pendapat yang mendasarinya. Banyaknya perbedaan, dimulai dari bagaimana cara pandang yang digunakan dalam sebuah komunitas tertentu. Perbedaan arah pendapat dapat menyulut bahkan melahirkan sengketa perselisihan, yang secara tidak sengaja muncul dengan sendirinya ataupun sengaja digelindingkan atau direkayasa sedemikian rupa oleh oknum tertentu, agar terjadi suatu konflik.
Perbedaan cara pandang suatu kelompok masyarakat, dipengaruhi oleh proses dialektika, wawasan kebangsaan, tingkat pendidikan, lokalitas budaya, local wisdom, strata sosial, mental spiritualitas dan sebagainya. Perbincangan mengenai konflik sosial yang sering merebah di masyarakat, dewasa ini lebih disebabkan karena faktor kepentingan pihak tertentu, yang diskenariokan secara terstruktur oleh pihak tertentu pula. Rekayasa konflik yang dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab, pada dasarnya akan mencerabut nilai integritas bangsa dan menghancurkan nilai khazanah budaya bangsa. Kebhinekaan Indonesia menjadi terkotak-kotak oleh sebuah kepentingan yang instan-pragmatis.
Perbedaan SARA dipergunakan sebagai media untuk melakukan politik devide et impera, memecahbelah antarkelompok. Segmen masyarakat dipaksakan oleh adanya sistem yang dengan sengaja diterapkan oleh penguasa. Masyarakat dipaksakan untuk melakukan permainan sistem politik, ekonomi, hukum, sosial bahkan budaya. Atas nama keadilan dan kemakmuran, rakyat diperketat cara bersosialisasinya membela hak dan kewajibannya sendiri. Pertarungan memperebutkan kekuasaan semakin memanas dikalangan elit, sehingga berujung pada disorientasi tujuan untuk mewujudkan walfare state.
Dewasa ini, konflik sering terjadi bukan hanya disebabkan oleh persoalan SARA, namun ketimpangan atas keadilan sosial dan HAM mewarnai beberapa peristiwa konflik yang terjadi akhir-akhir ini. Hal ini membuktikan bahwa kepuasan rakyat atas sistem pemerintahan dan tatanan sosial kurang dapat ditransformasikan secara optimal. Kaitannya dengan transformasi keadilan sosial, belum secara komprehensif mengiringi kebijakan pemerintah.
Lantas melihat persoalan tersebut diatas, bagaimana kemudian kehadiran budaya bangsa sebagai instrumen integritas bangsa mampu menjadi perekat perbedaan cara pandang (paradigm), SARA, dan ketimpangan keadilan sosial. Mampu diakumulasikan, diredam dan didamaikan melalui bingkai budaya. Pendekatan budaya (kultur) atas persoalan bangsa, menjadi pilihan efektif dalam mempersatukan perbedaan paradigma, SARA, dan ketimpangan sosial lainnya. Sebab dalam sistem budaya bangsa, tidak melihat perbedaan kelas dalam masyarakat dan perbedaan status sosial.
B. Rekonsiliasi dan Integritas
Kebhinekaan Indonesia sudah berjalan lebih dari 60 tahun. Artinya secara mentalitas, negara kita sudah menjadi negara yang mempunyai kedewasaan dalam berbangsa dan berbudaya. Umur yang sudah lebih dari dewasa ini, dalam konteks internasional, Indonesia dipandang bahkan diakui sebagai negara yang mempunyai kemampuan dan keahlian dalam mengelola dan mempertahankan bangsanya.
Nilai persatuan dan kesatuan bukan lagi diktum yang hanya dihafal dalam teks Pancasila. Namun, diimplementasikan pada kedewasaan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara. Konflik yang sering terjadi, membuktikan bahwa tingkat kedewasaan bangsa ini masih dipertanyakan. Proses kesatuan bangsa harus diimbangi dengan proses pemufakatan dan perdamaian antarindividu, individu dengan kelompok, dan antarkelompok.
Rekonsiliasi hadir sebagai proses pemufakatan atau perdamaian dalam menyamakan persepsi dan cara pandang yang dimiliki oleh individu dan kelompok sebagai bangsa. Selanjutnya, integritas adalah nilai kesatuan bangsa yang dimiliki oleh individu dan kelompok dalam berbangsa dan bernegara. Dua pengertian ini, dalam konteks konflik bangsa, merupakan sebuah definisi yang benilai dalam merajut perbedaan menjadi nilai persatuan untuk membangun bangsa.
Dalam kaitannya dengan konflik, seyogyanya isu perbedaan bukan lagi menjadi pemicu lahirnya konflik berkepanjangan. Pluralitas dan multikultural dalam bingkai bhineka tunggal ika, merupakan kekayaan yang menjadi khazanah budaya bangsa. Apalagi bila satuan budaya daerah menjadi pemicu lahirnya konflik dan perselisihan antar suku tertentu, hal ini menjadi ironis. Maka rekonsiliasi budaya hadir sebagai proses mendamaikan, memanage segala bentuk konflik. Menguatkan satuan budaya untuk ditampilkan sebagai instrumen pembebasan persoalan ketimpangan sosial. Melalui pendekatan budaya dalam kerangka mufakat untuk damai, rekonsiliasi budaya mampu mewujudkan integrasi bangsa.

C. Budaya dan Masyarakat
E.B Taylor mendefinisikan kebudayaan adalah suatu keseluruhan yang kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kecakapan-kecakapan serta kebiasaan-kebiasaan lainnya yang diperoleh atau dihasilkan manusia sebagai anggota masyarakat.
Kebiasaan yang dilakukan masyarakat secara kolektif merupakan wujud nilai persatuan dan kesatuan. Kolektivitas dibangun secara kultural membentuk adat istiadat yang mengandung pelajaran dan pembelajaran bagi masyarakat. Nilai kolektivitas ini nantinya akan bermuara pada struktur masyarakat dalam kerangka integritas bangsa. Kepedulian sosial akan semakin terbangun dari proses integrasi bangsa sebagai perwujudan dari kolektivitas.
Dalam budaya Indonesia, kolektivitas masyarakat digambarkan pada konsep gotong-royong yang menjadi falsafah hidup bangsa. Proses kerjasama yang mengedepankan rasa saling percaya dalam membantu dan menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan, artinya dengan tanpa pamrih masyarakat bahu membahu membangun lingkungannya. Karakter masyarakat Indonesia mempunyai ciri khas universal dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Sebagaimana ciri utama filsafat nusantara umumnya, Jawa khususnya ialah gotong royong, yang secara universal dikenal sebagai filsafat organisme atau filsafat proses. Filsafat ini memandang realitas itu berstruktur (lahir-batin) dan berproses (awal-akhir).
Secara kultural, interaksi dalam masyarakat menggunakan pendekatan humanitas, yang lebih mementingkan kepentingan bersama dan menghargai segala bentuk hak dan kewajiban dari masing-masing. Pendekatan humanitas tidak mengedepankan kelas sosial atau status sosial. Kesetaraan dan keadilan sosial memberikan nuansa kedekatan emosional yang memberikan ruang bebas masyarakat untuk menentukan pilihan hidupnya, membangun diri dan bangsanya yang diikat oleh aturan atau etika sosial dalam masyarakat.
Menurut Koentjaraningrat, masyarakat adalah kesatuan hidup makhluk-makhluk manusia yang terikat oleh suatu sistem adat istiadat tertentu. Sebagai kesatuan yang memiliki adat kebiasaan, masyarakat dalam melakukan aktifitas sosialnya, memperhatikan, menjalankan etika bersosialisasi sebagai konsekuensi yang telah disepakati secara kolektif di tengah kemajemukan dan heterogenitas budaya. Sehingga terjadi pola mutualisme antara masyarakat dengan budaya, yang berjalan seimbang dan terintegrasi dalam dinamika sosial untuk membangun peradabannya.

D. Budaya Sebagai Instrumen Integritas Bangsa
Negara Indonesia mempunyai banyak beraneka ragam budaya. Di Jawa kita mengenal budaya gotong royong, unggah ungguh. Secara material, banyak bentukan hasil karya seni budaya masyarakat, seperti seni wayang, musik calung, angklung, sinden, dan masih banyak lagi. Di daerah lain kita dapat melihat berbagai jenis budaya, seperti budaya Minahasa, Ranah Minang, budaya Suku Dayak dan sebagainya. Belum lagi budaya yang bersifat adat istiadat, sistem kepercayaan, ceremonial yang bersifat sakral, peringatan tertentu, pesta rakyat, kerukunan sosial masyarakat dan sebagainya yang mengandung nilai lokalitas budaya daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
Heterogenitas budaya bangsa ini semakin mewarnai perkembangan keanekaragaman kebudayaan. Aneka ragam, corak, dan warna kebudayaan semakin kaya dan berdiri sejajar dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Lewat perkembangan inilah kemudian, wilayah masyarakat terbagi menjadi dua, yaitu masyarakat modern dan masyarakat tradisional. Pembagian ini terjadi akibat pengaruh dan persinggungan antara budaya murni bangsa dengan sistem pasar, yang pada hakekatnya telah mendikotomikan masyarakat pada ruang kelas (strata) sosial. Harus diakui memang, struktur dalam masyarakat didominasi oleh patahan budaya modern, sehingga harmonisasi yang sudah diciptakan terkadang kikis oleh perbedaan kelas sosial.
Masyarakat modern teraspirasi dengan liberalisme dan demokrasi, sementara masyarakat tradisional lebih menekankan pada otoritas dan kepatuhan. Dalam masyarakat modern batasan dari kebebasan perlu untuk ditetapkan, sementara dalam kebudayaan atau masyarakat yang otoriter, segala tindakan memerlukan ijin. Budaya modern cenderung untuk menekankan pada kedudukan yang sejajar, sementara masyarakat tradisional akan menekankan pada hirarki. Perbedaan ini jelas relevan terhadap transfromasi konflik, yang mendorong penentangan terhadap otoritas yang sudah mulai terlaksana atau terstruktur.
Budaya bangsa yang murni, dalam kondisi apapun akan mempertahankan sebagai diri yang utuh (intergral). Namun bagaimana masyarakat mampu memberikan filter atas reaksi dan masuknya budaya asing serta memberikan keseimbangan. Lebih lanjut, disisi lain modernisasi budaya juga perlu dilakukan sebagai langkah transformasi pada penguatan akar budaya. Mampu beradaptasi dengan perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam konteks ini, dikotomi antara masyarakat modern dengan masyarakat tradisional akan menemukan titik temu kesetaraannya. Persamaan hak dan kewajiban dalam berdemokrasi dan berpendapat.
Budaya menempati posisi sentral dalam rangka membangun integritas bangsa. Pola komunikasi dapat diciptakan melalui aktivitas dan kreativitas budaya, sebagai wahana menciptakan dinamika dan dialektika serta keaksaraan bagi masyarakat, kesatuan visi akan terbangun dalam kerangka budaya. Sistem komunikasi dalam khazanah budaya dijadikan sebagai instrumen integritas bangsa. Akan terjadi saling mengenal antarkelompok, memahami perbedaan mendasar, baik cara berbicara (perbedaan bahasa), adat istiadat, perbedaan suku bangsa, ras, dan agama maupun hasil cipta karya dari masing-masing daerah sebagai produk budaya. Bukan sebaliknya, muncul sentimen lokal dan rasa primordialisme yang menjadi benteng pemisah antarkelompok yang dapat menyebabkan disintegrasi bangsa. Sehingga jelas bahwa, budaya dapat dijadikan sebagai instrumen pemersatu, proses perdaimaian dan persaudaraan sebangsa dan setanah air, guna mewujudkan integritas bangsa.

E. Rekonsiliasi Budaya; Upaya Transformasi Konflik
Rekonsiliasi budaya dilakukan sebagai gerakan mempersatukan dan mendamaikan segala bentuk konflik melalui kerangka budaya. Kasus konflik yang sudah terjadi seperti konflik Poso, Ambon, Irian Barat, dan beberapa kerusuhan lainnya, yang dipicu oleh perbedaan SARA dan egoisme sektarian antarkelompok, harus dijadikan bahan evaluasi dan refleksi bagi pemerintah dan masyarakat. Konflik antar suku pada dasarnya bukan hanya disebabkan oleh faktor perbedaan kepercayaan (ajaran agama) saja. Namun, munculnya konflik, ternyata lebih didominasi oleh egosentris kesukuan atau kelompok, yang cenderung mengedepankan emosionalitas dari pada menggunakan rasionalitas.
Apalagi dekade kemarin, di skala internasional, negara Indonesia diberitakan sebagai negara sarang teroris, akibat kasus pengeboman atas nama jihad di beberapa daerah (seperti: Jakarta dan Bali), yang menewaskan banyak warga asing. Menanggapi ini, tentunya perlu kesadaran bersama antar bangsa. Rekonstruksi untuk mengembalikan citra Indonesia di mata bangsa-bangsa lain, dilakukan dengan merepresentasi, mengejawantah dan menginterpretasi budaya bangsa kepada bangsa lain. Pendekatan budaya dilakukan untuk meredam dan mendamaikan suasana isu serta konflik. Mengembalikan kepercayaan untuk merajut hubungan bilateral antar negara.
Konflik berkepanjangan akan menimbulkan permusuhan yang dapat berujung pada bentrok atau peperangan. Rekonsiliasi budaya sebagai upaya transformasi konflik, memberikan ruang untuk melakukan mediasi, membuka ruang dialog untuk menemukan sebuah solusi penyelesaian konflik. Berdialog dilakukan untuk memberikan kepada ruang publik memahami akar persoalan yang memicu terjadinya konflik.
Sebagai gerakan anti-kekerasan, proses dialogis dilakukan sebagai pendekatan kultural, memahami ranah adat kebiasaan pada suku atau kelompok tertentu. Menekankan pada keadilan dan kesetaraan serta resolusi konflik yang concern pada kepentingan kolektif. Maka sikap saling menghormati, bijak (arif) merupakan kebutuhan dari semua pihak yang terlibat konflik, dan desakan akan sebuah kesamaan kedudukan, adalah faktor yang dapat menciptakan keadilan sosial. Selain itu, kesalehan sosial juga menjadi orientasi dalam kaitannya dengan kondusifitas antarkelompok untuk merajut rekonsiliasi dan transformasi konflik menuju integrasi bangsa.
Sebagaimana Kuntowijoyo menggariskan, bahwa hanya kesalehan yang mempunyai cita-cita pembebasan struktural yang mampu mengantarkan masyarakat dalam keutuhan pada zaman industrialisasi, teknologisasi, dan urbanisasi sekarang ini. Jika tidak demikian, anomie, alienasi, dan kontradiksi akan selalu menghadang di tengah jalan.

F. Toleransi; Upaya Manajemen Konflik
Dalam upaya meminimalisir konflik, maka yang pertama harus dilakukan adalah penanaman kesadaran kepada masyarakat akan keragaman (plurality), kesetaraan (equality), kemanusiaan (humanity), keadilan (justice) dan nilai-nilai demokrasi (democration values) dalam beragam aktifitas sosial. Konflik semestinya menjadikan sebuah refleksi atas perbuatan masyarakat dalam interaksinya. Proses untuk mengidentifikasi, mengolah, dan memberikan gambaran penyelesaiannya. Sehingga memahami konflik bukan hanya sebatas bagaimana mencarikan jalan solusinya, namun proses manajemen konflik; mengklasifikasi persoalan, mengolah, merekam perbedaan, kemudian menyatukan persepsi untuk mediasi dan berdialog.
Terjadinya kasus percekcokan dalam masyarakat harus dipandang sebagai hal yang wajar. Tidak ada masyarakat yang sama sekali terbebas dari konflik. Terdapat adagium Arab yang berbunyi, ridla al-nas ghaya la tudrak (kerelaan semua orang adalah tujuan yang tidak pernah tercapai). Yang tidak wajar adalah jika konflik dan perselisihan itu meningkat sehingga menimbulkan situasi permusuhan dalam bentuk pengkafiran (takfir) satu sama lain.
Perbedaan cara pandang, perbedaan SARA dalam masyarakat, rentan dengan konflik dan permusuhan. Perbedaan ini harus kita pandang sebagai wujud kompleksitas, kemajemukan, dan pluralitas. Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam keanekaragaman, yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, secara objektif harus dipandang sebagai entitas yang mengandung paham pluralisme dan multikulturalisme.
Lebih jauh Nurcholish Madjid sebagaimana yang dikutip oleh Nasruddin Anshoriy Ch, memberikan uraian bahwa pluralitas tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka-ragam yang terdiri dari berbagai suku dan agama. Jika hanya demikian, kita justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekadar sebagai ”kebaikan negatif” (negative good), yang hanya ditilik dari kegunaannya menyingkirkan fanatisme (to keep fanaticism at bay). Pluralisme harus dipahami sebagai ”pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban” (genuine engagement of divesitis wthin the bond of civility).
Sikap toleransi dalam berbangsa, bernegara, dan berbudaya terutama dalam merespon pluralitas bangsa, perlu ditanamkan dalam masyarakat kita. Adanya saling pengertian, tenggang rasa, gotong royong, saling menghargai dan menghormati merupakan proses-proses dialogis yang harus dipahami bersama secara individu maupun secara kelompok. Perbedaan bukan kendala untuk bersatu, justru dengan keanekaragaman bangsa, akan mendewasakan individu maupun kelompok dalam memahami pluralitas bangsa. Toleransi merupakan wujud kedewasaan seseorang, terutama kaitannya dengan menghargai dan menghormati kebebasan dalam beragama, pilihan dalam politik, perbedaan suku bangsa, hak asasi manusia, dan sebagainya.

G. Rekonsiliasi; Persekutuan Budaya Untuk Keadilan Sosial
Setelah masyarakat memiliki karakter, bentukan integritas terwujud akibat adanya persekutuan budaya daerah yang memperkaya khazanah keanekaragaman budaya. Integritas budaya sebagai modal bangsa untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa. Terutama dalam mendongkrak stabilitas sosial, ekonomi, dan politik. Kesamaan dan kesetaraan antarkelompok atau suku bangsa dalam mengintegrasi budaya untuk mengusung keadilan sosial.
Jika sikap menghormati dan demokratis merupakan unsur penting dalam proses pembangunan maka keadilan sosial adalah sasarannya. Singkatnya, jika pembangunan mempunyai tujuan untuk menciptakan prasarana-prasarana kesejahteraan segenap anggota masyarakat maka prasarana-prasarana itu pertama-tama harus diciptakan bagi mereka yang paling lemah. Itulah yang dituntut oleh keadilan sosial.
Rekonsiliasi sebagai proses pemufakatan dan perdamaian, mengajak segenap bangsa melakukan pemenuhan atas kebutuhan pemahaman wawasan kebangsaan dan kebudayaan. Pluralitas bangsa dan integritas budaya merupakan rahmat yang harus dijaga dan dimanage. Banyak perbedaan yang semakin kompleks, menuntut adanya proses mediasi dan refleksi sebagai langkah komunikasi menyatukan persepsi untuk mencari sebuah solusi yang mendamaikan dan menampung semua aspirasi.
Masyarakat cenderung lebih cerdas, instan dan pragmatis dalam menetukan pilihan politiknya. Lebih dari itu, masyarakat dalam memahami pendidikan politik yang sebenarnya menjadi bias. Pasalnya, pelaksanaan pemilu legislatif 2009, memberikan implikasi pemahaman sempit akan politik. Masyarakat lebih memahami politik sebagai permainan money politic.
Siapa yang memiliki uang (modal) banyak, maka dia akan menjadi seorang anggota legislatif. Tapi bagi mereka yang minim modal, kecil kemungkinan dapat lolos menjadi anggota legislatif dan akan menjadi bahan tertawaan orang-orang disekelilingnya. Realitas ini memberikan dampak buruk bagi penanaman nilai-nilai demokrasi (democration values), politik hanya dimaknai sebagai proses pemenangan bagi mereka yang memiliki modal besar, yang suatu saat nanti akan mengharapkan modalnya bisa kembali ke tangannya.
Digambarkan oleh Dosen Ilmu Politik Univesitas Indonesia, Andrinof Chaniago, bahwa Indonesia saat ini sedang paceklik calon pemimpin nasional. Pasalnya, menjelang pemilu presiden, bangsa ini belum tahu siapa saja kandidat yang bakal maju, kecuali inkumben dan sederet nama tokoh politik lama yang selama ini sudah beredar. Kalau sekedar ada, sebetulnya memang ada calon pemimpin. Tetapi kalau sekedar ada dan kualitasnya kurang baik, maka ibarat menanam bibit padi, dibuang sayang, kalau terus ditanam, terpaksa harus mengeluarkan biaya lebih banyak.
Salah kaprah transformasi pendidikan politik yang sedemikian semrawut (banyaknya caleg yang tempramental), mengindikasikan bahwa kedewasaan dan wawasan berpolitik para caleg, partisipan, tim sukses dan sebagian masyarakat kita belum komprehensif. Apalagi pemahaman akan pendidikan politik dihadapkan pada wawasan kebangsaan dan kebudayaan yang kompleks dan multidimensional. Untuk dapat membaca peluang politik, paling tidak seseorang harus mengetahui dinamika perkembangan masyarakatnya, dapat berinteraksi dan bersosialisasi dengan masyarakat melalui pendekatan budaya. Maka dalam konteks ini, wawasan tentang keindonesiaan berbasis budaya perlu direaktualisasikan melalui ranah transformasi pendidikan.
Pendidikan sebagai proses enkulturasi dalam kerangka nation-building berarti proses melembagakan nilai-nilai baik yang berupa warisan leluhur, nilai-nilai masyarakat industri, nilai-nilai nasionalisme kultural maupun nilai-nilai-nilai ideologi negara-bangsa pada umumnya dan Pancasila khususnya. Sebagai totalitas, nilai-nilai tersebut berkembang untuk mewujud pada tingkat individual dan kolektif sebagai etos kebudayaan nasional.
Penguatan nilai-nilai keindonesiaan yang mengedepankan kebhinekaan memberikan ruang gerak kepada segenap bangsa untuk mendapatkan keadilan sosial. Ruang gerak ini secara bebas diikat oleh kekuatan tatanan budaya yang telah mengakar di masyarakat. Sehingga pada akhirnya, kedewasaan dalam berbangsa dan berbudaya terutama dalam etika dan kearifan berpolitik akan tercipta pada setiap individu maupun kelompok, bersinergi menuju terciptanya keadilan sosial yang berkeadaban.

H. Kesimpulan
Perbedaan cara pandang (paradigm) dan SARA merupakan keniscayaan bagi bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebhinekaan. Rekonsiliasi budaya sebagai proses pemufakatan dan perdamaian atas perbedaan budaya dan adat istiadat, mengajak segenap bangsa melakukan pengayaan terhadap wawasan kebangsaan dan kebudayaan. Budaya bangsa menjadi instrumen strategis dalam proses transformasi konflik yang menginginkan terciptanya integrasi bangsa. Bhineka Tunggal Ika yang menjadi platform bangsa, memberikan ruang gerak kepada masyarakat untuk berapresiasi dan mendewasakan diri serta bertoleransi atas pluralitas bangsa menuju keadilan sosial.

DAFTAR PUSTAKA


Ary H Gunawan, Sosiologi Pendidikan Suatu Analisis Sosiologi Tentang Pelbagai Problem Pendidikan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000.

Damarjati Supajar, ”Jumenengan Filsafat Demokrasi pada Budaya Lokal” dalam Demokrasi dalam Budaya Lokal, Penyunting: Mulyana, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005.

Diana Francis, Teori Dasar Transformasi Konflik Sosial, Alih Bahasa: Hendrik Muntu dan Yossy Suparyo, Yogyakarta: Penerbit Quills, 2005.

Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat Edisi Paripurna, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.

Kompas, edisi 1 Mei 2009.

M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, Yogyakarta: Pilar Media, 2007.

Nasruddin Anshoriy Ch, Dekonstruksi Kekuasaan Konsolidasi Semangat Kebangsaan, Yogyakarta: LKiS, 2008.

______________________, Bangsa Inlender Potret Kolonialisme di Bumi Nusantara, Yogyakarta: LKiS, 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar