Sabtu, 23 Januari 2010

MEWUJUDKAN MENTAL POLRI YANG PROFESIONAL, TEGAS, HUMANIS DAN BERMORAL



Oleh :
MUSMUALLIM, S.Pd.I
DKC Banyumas

A.Latar Belakang Masalah
Beberapa waktu yang lalu, sekitar bulan Januari 2009 tepatnya pukul 21.30 WIB, saya dan kawan saya persisnya didepan pusat pertokoan jalan raya Kebondalem Purwokerto, dihadang oleh petugas polisi Satlantas Polres Banyumas, ditanya SIM, STNK dan macam-macam.
Singkatnya, saya terkena Tilang karena roda motor saya tidak standar alias kekecilan. Dengan segala perasaan tidak tentu, saya digiring oleh petugas polisi tersebut ke pos polisi Sri Maya Purwokerto. Melalui proses negosiasi dan tawar menawar yang cukup alot, akhirnya saya membayar dengan sukarela dan ikhlas sejumlah Rp. 15.000,-. Pak polisi bilang, berapapun yang akan diberikan harus ikhlas, sebab kalau tidak ikhlas nanti uangnya tidak enak dimakan.1
Pada rasio bulan Mei 2009, motor saya dipinjam oleh kawan saya, sesampai di Karangklesem Purwokerto, dia dihadang oleh Patroli Tilang Satlantas Polres Banyumas. Kawan saya harus menyelesaikan urusannya dikantor, dia minta bantuan polisi kenalannya, namun itu semua tidak mengurangi denda yang harus diberikan, kawan saya harus menyerahkan uang denda sejumlah Rp. 70.000,-. Pelanggaran yang dilakukan diantaranya warna motor yang tidak sesuai dengan STNK, tidak membawa SIM. Padahal harapannya, dengan dibantu oleh petugas polisi kenalannya, akan diringankan jumlah dendanya.2
Dua peristiwa diatas merupakan sederetan peristiwa yang sering kita jumpai, bahkan tidak menutupkemungkinan kita pernah mengalaminya. Kejadian diatas memberikan persepsi tersendiri bagi kita, bagaimana seharusnya perilaku seorang petugas polisi yang notabene adalah penegak hukum. Terjadi kontradiksi atas kedua peristiwa diatas, disatu sisi petugas polisi tidak mempunyai bargaining dalam menentukan keputusan hukum atau denda yang diberikan kepada pelanggar pengguna kendaraan bermotor. Negosiasi antara si pelanggar dengan anggota polisi, mencerminkan sebuah kelemahan bagi anggota polisi sebagai penegak hukum. Kalau dianalogikan, ibarat tawar menawar yang terjadi di pasar, antara pembeli dengan penjual. Anggota polisi tidak lebih dari penentu harga (penjual) dan si pelanggar menjadi sang pembeli yang mencoba melakukan penawaran.
Disisi lain, polisi memiliki komitmen dan karakter dalam menentukan keputusan hukum atau denda bagi pelanggar. Tindakan ini menunjukkan i’tikad baik bahwa Polri tidak nepotis, tidak membedakan kelas masyarakat atau tidak pandang bulu dalam memberikan sanksi pelanggaran. Bantuan dari anggota polisi tidak mampu mempengaruhi proses pemberian sanksi hukum. Artinya, polisi tetap tegas dan profesional, sehingga ketegasan seperti ini dapat memberikan citra positif bagi jajaran Polri di tengah masyarakat.
Kontradiksi ini mengisyaratkan bahwa dalam tubuh Polri masih memiliki kerapuhan character building, baik secara individu maupun secara kelembagaan. Mentalitas dan karakter yang dimiliki anggota Polri harus dibangun dalam kerangka profesional, tegas, humanis dan bermoral. Karena selanjutnya, nilai humanitas akan memperkokoh bangunan masing-masing individu dalam teamwork yang berujung pada pola hubungan yang humanis dalam tatanan sosial masyarakat. Kemudian nilai moral akan memberikan nuansa etika dan estetika yang berketuhanan dan berkesusilaan.
Dua cerita diatas menyadarkan kita pada satu kerangka kesadaran bersama untuk membangun mentalitas dan karakter penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. Kesadaran bersama merupakan fondasi membangun cita-cita reformasi Polri, membawa refleksi sejarah atas segala aktivitas yang telah dan akan dilakukan.
Kuntowijoyo menyebutkan bahwa peristiwa sejarah akan hilang begitu saja jika tidak ditemukan oleh sejarawan. Sebagai kejadian, perbuatan, pemikiran, perasaan dari masa lampau, suatu actual occurance di tempat dan pada waktu tertentu, peristiwa sejarah mempunyai kedudukan ontologis sebagai thing-in itself yang lepas dari pengetahuan manusia.3 Sebagaimana dua peristiwa tersebut diatas yang memberikan pembelajaran yang kurang bermartabat dan tidak profesional dimata masyarakat. Semakin oknum polisi melakukan kesewenang-wenangan atau penyimpangan tugas, semakin akan memperburuk citra polisi, baik secara individu maupun secara kelembagaan.
Sehingga dalam konteks ini, bagaimana Polri mampu melakukan rekonstruksi pembangunan bagi sumber daya manusia yang dapat menjalankan tugasnya degan baik, profesional, tegas, humanis dan bermoral sesuai dengan kondisi riil masyarakat kekinian. Sebagai penegasan atas komitmen kemitraan Polri dengan masyarakat dan cita-cita luhur reformasi Polri untuk dapat diimplementasikan guna mewujudkan masyarakat yang sejahtera dan berkeadaban.

B.Pencitraan Positif Polri
Sebelum melakukan perubahan disegala bidang, yang lebih esensial untuk dilakukan rekonstruksi adalah pencitraan diri yang positif dalam tubuh Polri sendiri. Menjaga nama, harkat dan martabat merupakan harga mahal bagi sebuah institusi negara. Pasalnya, masih ada oknum polisi melakukan inkonsistensi dalam bertugas, paling tidak peristiwa diatas memberikan pelajaran berharga bagi citra positif pada Polri. Melalui pencitraan positif, maka hubungan dengan masyarakat dalam kerangka kemitraan Polri akan mudah untuk direalisasikan.
Sampai hari ini, polisi masih dianggap pihak yang terkadang justru mempersulit urusan hubungan sosial dalam masyarakat. Kesan yang terang masih menempel bahwa polisi dianggap sosok yang sangar, otoriter, tidak berpihak dengan masyarakat. Terkadang kita merasa malu apabila dijalanan harus berurusan dengan polisi, walaupun kita salah, namun seolah-olah berurusan dengan petugas polisi merupakan perihal yang buruk. Image polisi dimata masyarakat masih dianggap sebelah mata, artinya secara kelembagaan baik, namun tidak bisa kita pungkiri bahwa banyak kasus yang terjadi menyangkut tindakan atau perilaku oknum polisi yang tidak sesuai dengan aturan sosial masyarakat bahkan aturan hukum itu sendiri.
Dalam kaitannya dengan kehidupan sosial masyarakat, polisi juga hidup dalam sistem sosial budaya masyarakat. Maka anggota polisi secara individu juga harus mengetahui norma yang berlaku dimasyarakat. Norma tata kelakukan (mores), kebiasaan yang tidak semata-mata merupakan cara bertingkah laku, tetapi merupakan norma yang mengatur, menyuruh atau melarang sesuatu perbuatan dilakukan. Berfungsi untuk memberikan batas-batas tingkah laku seseorang (melarang atau menyuruh), mengidentifikasikan seseorang dengan kelompoknya dan mengikat solidaritas anggota kelompok atau masyarakat.4
Cita-cita untuk merealisasikan kemitraan Polri dengan masyarakat harus diimbangi dengan langkah-langkah yang bersinergi dengan kebutuhan lingkungan masyarakat. Memberikan ruang untuk berdemokrasi bagi masyarakat, membangun hubungan harmonis dengan masyarakat sebagai mitra polisi. Melakukan pencitraan diri (ibda binnafsi) dimata masyarakat dengan berperilaku, bersikap dan memberikan pelayanan dengan sepenuh hati, tidak membedakan kelas dalam masyarakat.

C.Kemitraan Polri; Dari, Oleh dan Untuk Masyarakat
Seiring perkembangan tingkat pendidikan dan partisipasi masyarakat dalam ruang publik, asumsi masyarakat atas sikap polisi yang terkesan sangar dan menakutkan mulai mengikis. Konsep kemitraan Polri dengan masyarakat merupakan wujud humanisasi Polri untuk lebih melibatkan dan merangkul masyarakat dalam aktivitasnya. Menjadikan institusi Polri sebagai sentra pelayanan publik yang lebih mengedepankan kepentingan masyarakat. Bukan kepentingan pemenuhan birokrasi Polri yang bersifat administratif finansil, yang cenderung menyulitkan dan menghambat proses penyelesaian masalah hukum. Maka reformasi di tubuh Polri harus diiringi dengan upaya demokratisasi yang berbasis kerakyatan, yaitu dari, oleh dan untuk masyarakat. Secara praktis, masyarakat dilibatkan dalam upaya penentuan arah kebijakan dan aktivitasnya.
Sebagaimana disebutkan dalam tugas pokok Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), sesuai dengan Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 pasal 38, bahwa Kompolnas bertugas membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri. Kompolnas berwenang untuk mengumpulkan dan menganalisis data sebagai bahan pemberian saran kepada Presiden yang berkaitan dengan anggaran Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengembangan sumber daya manusia Kepolisian Negara Republik Indonesia dan pengembangan sarana dan prasarana Kepolisian Negara Republik Indonesia, memberikan saran dan pertimbangan lain kepada Presiden dalam upaya mewujudkan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang profesional dan mandiri dan menerima saran dan keluhan dari masyarakat mengenai kinerja kepolisian dan menyampaikannya kepada Presiden.5
Setidaknya kehadiran Kompolnas memberikan ruang publik kepada masyarakat untuk bersama-sama memberikan aspirasi, saran dan masukan yang konstruktif. Tinggal bagaimana mengoptimalkan peran dan tugas Kompolnas dalam menjalin komunikasi dengan masyarakat, melibatkan masyarakat dalam menentukan arah kebijakan Polri dalam melakukan tugasnya. Secara independen Kompolnas memiliki ruang tugas yang signifikan dengan ruang demokratis bagi keterlibatan masyarakat. Memberikan kesempatan masyarakat untuk mengadukan segala problematika yang terjadi secara terbuka dan demokratis.
Namun ironis, masyarakat kini semakin berani dan kebablasan cerdas, perkembangan masyarakat semakin melaju cepat. Kehidupan sekarang lebih berorientasi pada materi dan instan. Kondisi demikian mengakibatkan sebagian masyarakat lebih berani untuk melanggar tatanan hukum, menggunakan segala cara untuk dapat mencapai tujuannya, bahkan kurang bisa menghargai dan cenderung menyepelekan hukum dan polisi sebagai penegak hukum. Dalam kondisi yang serba instan, polisi harus pandai memilih dan menganalisa realitas, tidak tergerus oleh arus negatif globalisasi, tidak mudah terbawa oleh proses instan emosionalitas masyarakat. Sehingga dalam konteks ini, bagaimana Polri melakukan pendekatan dan menjalin kemitraan dengan masyarakat yang berbasis demokratis yaitu dari, oleh dan untuk masyarakat.
Kemitraan dilakukan melalui pendekatan struktural dan kultural masyarakat. Pendekatan struktural tentunya lebih dititikberatkan kepada hubungan komunikasi birokrasi dan kerjasama dengan instansi atau lembaga tertentu, baik pemerintah maupun swasta. Kemudian pendekatan kultural masyarakat dilakukan sebagaimana falsafah hidup orang Jawa yang lebih mengedepankan sikap gotong royong saling membangun rasa asah, asih dan asuh. Demokratisasi Polri melibatkan masyarakat dalam menentukan arah kebijakannya, tentu hal ini harus disinergikan antara program-program Polri dengan tingkat kebutuhan masyarakat, sehingga konsep kemitraan dapat terwujud dan dinamis dengan tatanan kehidupan sosial masyarakat yang merdeka, adil dan beradab sebagaimana disebutkan dalam Pancasila dan UUD 1945.

D.Reformasi Polri; Hapus Budaya KKN
Dalam menghadapi era modern abad 21 yang penuh dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir, secara internal tantangan Polri kedepan sangat sentral, yaitu menyangkut: Pertama, profesional, dimana anggota Polri mampu melakukan tugas pokoknya, tidak terpengaruh adanya intervensi dari pihak manapun, melaksanakan tugas secara transparan dan akuntabilitas serta menguasai ilmu pengetahuan, terampil dan mahir tentang fungsi teknis Polri. Kedua, bermoral, menjunjung tinggi norma-norma agama sesuai dengan keyakinannya, menjunjung etika dan sopan santun dalam melaksanakan tugas serta bebas dan bersih dari KKN.
Ketiga, modern, dapat mengikuti perkembangan situasi dan kondisi tentang globalisasi serta teknologi masa kini serta mampu mengetahui pergeseran nilai, sikap dan mentalitas sesuai dengan tuntunan atau kebutuhan masyarakat. Keempat, kultur perpolisian demokratis dan sipil, menjunjung supremasi hukum dan HAM dalam rekruitmen polisi, dilaksanakan secara transparan dan akuntabilitas publik, proactive policing atau kepedulian dan ketanggapsegeraan, community policing atau perpolisian masyarakat (kemitraan dan kolaborasi untuk pemecahan masalah), setiap tindakan polisi hasilnya wajib diinformasikan kepada masyarakat serta setiap pelanggaran yang dilakukan oleh polisi diterapkan melalui sidang disiplin, kode etik dan peradilan umum.
Budaya KKN dalam tubuh Polri akan semakin memberikan angin negatif kepada masyarakat, memberikan pembodohan kepada anggota polisi itu sendiri maupun kepada masyarakat. Pungutan liar yang dilakukan oleh oknum anggota polisi merupakan bentuk nyata pembodohan terhadap masyarakat. Terlebih lagi dengan praktek tawar-menawar denda pelanggaran, seperti transaksi antara penjual dan pembeli. Tipikal seperti ini merupakan penyakit kronis yang sangat mempengaruhi mentalitas anggota polisi sebagai aparat hukum.
Melihat tantangan internal diatas, maka menghapus budaya KKN dalam tubuh Polri adalah harga mati, artinya katakan tidak untuk melakukan tindakan korupsi. Transparansi data dan anggaran perlu dibudayakan sebagai budaya penegak hukum, seperti pada saat penerimaan anggota Polri baru, tanpa ada embel-embel siapa membawa siapa, berani bayar berapa. Kemudian proses pembayaran denda Tilang dan lainnya dengan istilah nitip, apakah memang uang tersebut masuk ke negara atau memang hanya kong kali kong yang dimanfaatkan oleh oknum polisi tertentu. Pertanyaan ini masih menjadi perdebatan bagi masyarakat, kemana larinya uang itu dan siapa yang nantinya memanfaatkannya. Terlepas percaya atau tidak, yang jelas transparansi data dan anggaran dalam tubuh Polri harus dibudayakan, agar masyarakat tahu bagaimana mekanisme yang sebenarnya dan sejujurnya.
Sebagaimana sejarah Polri bahwa suasana Proklamasi Kemerdekaan RI menjadi catatan sejarah berdirinya Polri, tepatnya pada tanggal 29 September 1945, walaupun memang hari kepolisian diperingati pada tanggal 1 Juli 1946, yang ditetapkan sebagai hari Bhayangkara. Pada masa Republik Indonesia Serikat dan era UUDS 1950, Polri mandiri dibawah Presiden yang bervisi jauh kedepan dan tidak dapat diintervensi oleh kekuatan apapun, bebas korupsi serta tangguh dalam sikapnya bebas dari politik namun harus tahu politik.
Momentum reformasi Polri dimaknai dan diimplementasikan sebagai tonggak perubahan secara bertahap dan menyeluruh. Diawali dengan penghapusan KKN seakar-akarnya, yang telah lama menjangkit dalam tubuh Polri. Dengan kondisi Polri yang bersih dari KKN, maka selanjutnya konsep kemitraan, dapat dikolaborasikan menjadi pola hubungan harmonis yang akan tetap terbangun dalam kerangka mutualisme, konektivisme dan kolektivisme antara Polri dengan masyarakat.

E.Membangun Harmonisasi dengan Masyarakat
Konflik akibat perbedaan SARA masih mewarnai kehidupan kita dalam berbangsa dan bernegara. Sebagai negara bangsa, tanah air Indonesia masih rawan dengan perpecahan akibat sentimen SARA. Sebenarnya perbedaan SARA, sudah bukan saatnya lagi menjadi penghalang bagi segenap bangsa untuk maju dan berkreativitas. Karena kita tahu bhineka tunggal ika sebagai falsafah hidup bangsa, rakyat diberikan kebebasan untuk memeluk agama, mengemukakan pendapat di ruang publik dan sebagainya sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
Namun akhir-akhir ini, bukan lagi isu SARA yang menjadi pemantik terjadinya konflik, tapi lebih kepada karena perbedaan pilihan dalam berpolitik. Kedewasaan berpolitik sebagian masyarakat Indonesia masih dipertanyakan. Hak dan kewajiban yang melekat dalam demokrasi tidak secara alamiah diberikan atau secara universal dipilih; hak dan kewajiban itu memerlukan suatu keputusan atau komitmen terhadap pandangan bahwa dalam komunitas politik seharusnya warganegara yang dewasalah yang menentukan secara bebas syarat-syarat perhimpunan mereka sendiri dan perjalanan pemerintahan mereka.6 Hanya persoalan beda pilihan partai politik dan kepentingan, sampai menyebabkan konflik antar saudara bahkan sekandung, maka kedewasaan dan kearifan dalam berpolitik harus dibudayakan yang diimbangi dengan kewaspadaan atas permainan kepentingan penguasa.
Pada konteks ini, sejatinya Polri menjadi pioneer perdamaian atas konflik yang terjadi dibelahan bumi nusantara. Menyatukan perbedaan dan mendamaikan pertikaian dan permusuhan. Konflik berkepanjangan akan mempengaruhi terjadinya disintegrasi bangsa yang akan mengancam nilai persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, terlebih sekarang muncul persoalan baru isu konflik berbasis agama yang dibungkus dengan atas nama HAM, tawuran antar suku, perusakan kantor KPU, termasuk konflik ambalat yang belum juga kunjung usai dan sebagainya.
Bukan hanya masyarakat saja yang menciptakan suasana harmonis dilingkungannya, Polri secara kelembagaan dan individu juga harus ikut andil dan mempunyai tanggungjawab dalam proses penciptaan harmonisasi dikalangan masyarakat, terutama bagi daerah rawan konflik dan perpecahan. Dengan menggunakan pendekatan humanis, sebagai metode Polri untuk berinteraksi, beradaptasi dan untuk lebih bersahabat dengan masyarakat. Kemudian menggunakan pendekatan dialogis, metode untuk melakukan mediasi dengan masyarakat, sebagai sarana untuk berkomunikasi dan berkoordinasi, karena proses dialog akan memudahkan dalam menemukan solusi alternatif atas persoalan bangsa. Bukan sebaliknya, polisi menggunakan emosionalitas dan egoisitas dalam menyikapi pertikaian antar kelompok masyarakat, namun lebih mengedepankan humanis-dialogis untuk mendamaikan segala potensi perpecahan dan konflik.

F.Mewujudkan Profesionalitas Polri yang Bermoral
Merealisasikan profesionalisme di jajaran Polri, membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Budaya KKN, penyimpangan, pelanggaran anggota Polri masih mewarnai perpolisian kita. Terlebih dengan maraknya anggota polisi yang menggunakan senjata apinya untuk menembak musuh pribadinya, saudaranya bahkan keluarganya sendiri. Penggunaan senjata api yang semaunya sendiri dan tidak pada tempatnya, mengakibatkan nyawa tak berdosa melayang. Potret ini menggambarkan bahwa masih banyak anggota polisi yang lebih mengedepankan egoisitas dan emosionalnya dalam berinteraksi dengan masyarakat.
Profesi sebagai polisi harus dipahami sebagai amanat rakyat, pengayom masyarakat, memberikan pelayanan secara intensif dan manusiawi. Profesionalitas yang diharapkan bukan hanya sekedar jargon yang sehari-hari dilontarkan, namun lebih dari itu mental profesional merupakan cara kerja yang sesuai dengan apa yang menjadi tugasnya, proporsional dan konsisten serta konsekuen. Ketegasan seorang anggota polisi diharapkan mampu memberikan pengamanan dan pengayoman terhadap masyarakatnya. Seorang anggota polisi juga memegang peran penting sebagai leader dalam masyarakatnya. Pemimpin harus menjadi teladan sebagaimana diungkapkan dalam serat wedhatama. Artinya, seorang pemimpin harus mampu membawa kepemimpinan intelektual dan moral.7
Tentunya masih segar dalam ingatan kita, pada bulan Juni 2009, seorang oknum anggota Polri yang notabene adalah Kepala Kepolisian Sektor Rawalo Polres Banyumas, telah melakukan perbuatan asusila.8 Perbuatan negatif itu mencerminkan sosok penegak hukum yang tidak memiliki moralitas yang baik. Anggota polisi yang seharusnya menghilangkan penyakit masyarakat, yang sejatinya melayani, mengayomi dan memberikan perlindungan kepada masyarakat, justru sebaliknya membuat resah masyarakat, memberikan tauladan yang negatif ditengah upaya reformasi Polri.
Bagi masyarakat, ini merupakan aib yang telah menjadi penyakit masyarakat, sebuah tamparan keras bagi loyalitas dan dedikasi yang selama ini dibangun. Namun demikian, kita perlu mengambil hikmah atas peristiwa yang memalukan jajaran Polri ini. Secara internal pimpinan Polri harus mengambil sanksi tegas untuk memberikan efek jera kepada anggota polisi yang melakukan pelanggaran. Selain itu memberikan pembinaan mental dan moral yang intensif kepada jajaran anggota polisi, agar kedepan tidak lagi terjadi perilaku yang menyimpang. Secara eksternal perlu dilakukan pembersihan nama baik, dengan melakukan pendekatan dengan masyarakat.

G.Bersahabat dengan Media Masa
Akhir-akhir ini, Polri telah menggunakan sistem keterbukaan dalam proses penerimaan anggota polisi baru. Terbukti dengan melibatkan kawan-kawan dari LSM untuk ikut berpartisipasi aktif dalam rekruitmen anggota polisi. Langkah ini perlu dikembangkan sebagai sarana komunikasi dengan pihak independen yang mengedepankan akuntabilitas dan kemandirian tanpa intervensi dari pihak manapun.
Proses sosialisasi di media masa merupakan upaya untuk menjalin komunikasi dengan masyarakat, baik secara lisan maupun tulisan melalui radio, televisi, internet, surat kabar dan sebagainya. Seperti yang kita ketahui melalui siaran live dilayar televisi merupakan upaya Polri dalam memberikan informasi tentang perpolisian kepada masyarakat di seluruh belahan bumi nusantara dan luar negeri.
Melibatkan masyarakat, media masa dan LSM dalam aktivitas Polri, merupakan alternatif dalam mengimplementasikan kemitraan Polri dengan masyarakat, terlebih dengan melibatkan LSM yang notabene lebih independen dan transparan. Namun, jangan keliru bahwa terkadang dilapangan masih ditemukan oknum polisi yang masih menggunakan kesewenang-wenangannya kepada pihak pers. Kawan-kawan pers sesekali masih mendapatkan cegatan, larangan, celaan, bahkan tidak menutupkemungkinan mendapat pukulan dari polisi dalam sebuah peliputan. Wartawan dan kawan-kawan pers yang lain merasa dikebiri dan kurang dapat diperlakukan sebagaimana mestinya.
Kesewenang-wenangan ini harus segera dievaluasi dan dilakukan pembenahan, bukan saatnya lagi polisi menutup-nutupi bahkan melarang media untuk melakukan tugasnya meliput segala jenis berita. Polisi adalah sahabat dan mitra masyarakat, sudah jelas, sebagai mitra harus saling bekerjasama dengan baik. Bersahabat dengan media masa, merupakan langkah yang harus terus dikembangkan, memberikan informasi kepada masyarakat tentang seputar dunia perpolisian dalam rangka menyesuaikan situasi dan kondisi kebutuhan perkembangan masyarakat dalam memenuhi asas kekinian yaitu modernisasi, melalui keterbukaan dan persahabatan dengan media masa, akan terbentuk opini publik yang konstruktif.

H.2010; Menuju Masa Keemasan Polri
Persoalan yang muncul dikalangan Polri, lebih disebabkan karena persoalan mentalitas dan karakter yang didukung oleh tingkat kesejahteraan yang kurang. Kita sadari bahwa Polri juga bagian yang integral dari masyarakat, berinteraksi dengan realitas sosial, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya. Anggota polisi juga masuk dalam sistem negara, yang secara administratif dibawah komando Presiden. Untuk itu, perhatian, dukungan dan motivasi sangat dibutuhkan bagi eksistensi, loyalitas dan peningkatan mutu kinerja serta profesionalitas anggota polisi.
Saat ini, beredar kabar bahwa tahun 2010 gaji anggota Polri akan dinaikkan, dengan konsekuensi harus memperbaiki kinerja dan profesionalitas dalam menjalankan tugas. Tentunya ini akan disambut baik dan gembira oleh keluarga besar Polri, ditingkat Mabes sampai Polsek. Maka diharapkan tahun 2010 mendatang menjadi tahun emas bagi anggota Polri. Upaya memperbaiki kinerja sebagai konsekuensi menjadi tanggungjawab Polri baik sebagai lembaga maupun sebagai individu anggota polisi. Mereka juga mempunyai keluarga, sanak saudara dan famili layaknya masyarakat lainnya yang memerlukan kebutuhan ekonomi, perhatian dalam interaksi sosial, kebutuhan sandang, pangan, papan dan sebagianya.
Ketika kesejahteraan anggota polisi diperhatikan dan direalisasikan, maka idealnya profesionalitas kinerja polisi juga meningkat. Artinya bahwa segala daya dan upaya akan dilakukan oleh Polri demi perbaikan apabila kesejateraan anggota polisi diperhatikan, yaitu dengan dinaikkannya gaji insentif bagi anggota Polri. Guna mewujudkan tahun emas bagi jajaran Polri, seyogyanya mulai dari sekarang langkah alternatif dan taktis harus segera dilakukan, mulai dari pencitraan positif, penghapusan budaya KKN, meningkatkan mental profesional, tegas, humanis dan bermoral serta lain sebagainya.

I.Kesimpulan dan Implikasi
Hubungan Polri dengan masyarakat merupakan miniatur kemitraan yang saling bersahabat dan bergotong-royong membangun terciptanya keadilan, keamanan dan kesejahteraan bangsa Indonesia. Reformasi Polri diejawantahkan pada demokratisasi yang melibatkan masyarakat dalam menentukan arah kebijakan Polri menuju masyarakat yang berkeadaban. Dua peristiwa diatas, menggambarkan bahwa citra positif Polri harus selalu dijaga, dibangun secara kontinue dengan mengacu kepada mental profesional, tegas, humanis dan bermoral serta bersih dari KKN. Berpartisipasi aktif dalam proses harmonisasi masyarakat, memberikan ruang aspirasi kepada masyarakat menuju masa keemasan Polri.
Implikasi dari uraian diatas yang dapat direkomendasikan sebagai berikut: 1) Polri menjaga citra nama baik dengan selalu berperilaku profesional dan bermoral, 2) Menggunakan pendekatan humanis-dialogis dalam setiap menghadapi persoalan dimasyarakat, 3) Transparansi dengan masyarakat dan optimalisasi kerjasama dengan institusi lain, baik lembaga pemerintah maupun swasta, termasuk LSM dan media masa menuju kultur masyarakat demokratis.


DAFTAR PUSTAKA

Ary H Gunawan, Sosiologi Pendidikan Suatu Analisis Sosiologi Pelbagai Problem Pendidikan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000.

David Held, Demokrasi dan Tatanan Global Dari Negara Modern hingga Pemerintahan Kosmopolitan, Penerjemah: Damanhuri, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Harian Radar Banyumas, Juni 2009.

http://kompolnas.go.id, diakses pada 6 Juli 2009.

Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat Edisi Paripurna, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.

Mulyana, Demokrasi dalam Budaya Lokal, Penyunting: Mulyana, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar