Rabu, 10 Februari 2010

MENGGAGAS PENGAJIAN BERWAWASAN BUDAYA

Oleh : Musmuallim, S.Pd.I

Budaya merupakan satuan hasil cipta manusia yang berjalan mengisi ruang peradaban. Salah satu manifestasi dari sentuhan manusia. Sebagai hasil ramuan manusia yang lahir dan mampu memberikan nuansa keadilan dan kebersamaan bagi kehidupan sosial. Keadilan yang berwujud pada ruang cipta atas hasil karya yang dikembangkan di bumi nusantara. Menciptakan hasil karya sebagai instrumen kekayaan daerah dan nasional. Masyarakat diberikan sebuah ruang keadilan untuk berkontribusi membangun peradabannya. Kebersamaan yang dibangun akan dipermudah dengan komunikasi melalui pergulatan budaya. Integritas bangsa akan semakin menyatu didukung dengan peranan budaya yang secara esensial menjadi kebutuhan masyarakat secara luas.

Namun ruang keadilan secara kodrati ini sudah hampir tergerus oleh arus perputaran dan pertukaran budaya asing sebagai proses globalisasi. Hampir di pelosok nusantara sudah terjangkit virus budaya barat yang menggeser peranan budaya lokal di sekeliling kita. Masyarakat secara tidak sadar telah meninggalkan peninggalan alamiah nenek dan kakek moyang kita. Kebersamaan dalam kacamata sosial masyarakat mulai luntur oleh gejolak sikap individualisme masyarakat. Sikap ini secara cepat berkembang pada dinamika interaksi masyarakat terutama pada masyarakat perkotaan. Rasa sosialisme masyarakat terlucuti oleh pergeseran nilai budaya. Hubungan saling asah asih asuh antar sesama menjadi terkotak-kotak oleh adanya kelas sosial yang cenderung mengucilkan masyarakat kecil dan terpinggirkan.

Disisi lain, masyarakat menjadi plural kontaminatif oleh budaya barat yang menjangkit generasi muda. Masyarakat menjadi plural bukan karena pengaruh khazanah kekayaan budaya yang berupaya mengintegrasikan bangsa. Pengaruh budaya barat menjadi komoditas konsumtif bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Sehingga hal ini berimplikasi pada ahistorical bagi kalangan muda bangsa yang gandrung akan modernitas yang global. Filterasasi yang dilakukan harus selaras dengan keinginan masyarakat untuk melakukan koreksi terhadap segala tindakan yang tidak melenceng pada wilayah propaganda. Melalui budaya barat yang bertentangan dengan norma-norma sosial dan agama yang kita anut.

Sejak kecil kita telah diajari budaya Jawa yang memiliki ranah saling gotong-royong saling bahu membahu membangun masyarakat. Masyarakat sangat demokratis; melakukan kerjasama gotong-royong tanpa pamrih dari, oleh dan untuk masyarakat. Kebutuhan ini, dalam masyarakat sosial Jawa sudah menjadi tradisi yang sudah turun temurun. Konsep anggah inggih ungguh merupakan tatanan nilai yang menjadi pegangan orang Jawa dalam melakukan interaksi dengan sosial masyarakat. Menghormati orang yang lebih tua dalam pergaulan, begitu juga sebaliknya orang yang lebih muda menghargai orang yang lebih tua. Nilai yang terkandung dalam konsep ini tergambar pada harmonisasi yang sudah tercipta secara kondusif pada masyarakat Jawa.

Berbicara tentang pergeseran nilai budaya, maka kita akan berhubungan dengan peran-peran media yang dapat memberikan informasi. Masyarakat akan semakin mudah mengakses kebutuhan informasinya terkait dengan akselerasi dari masyarakat dan komponen yang mempengaruhinya. Melalui media masa masyarakat secara mudah dan cepat memperoleh segala informasi yang menjadi kebutuhan dalam membangun sebuah komunikasi sosial dengan sekelilingnya. Pengaruh media menjadi signifikan bagi akselerasi budaya asing yang masuk di negara kita. Klaim publik terhadap media perlu dilakukan sedini mungkin dengan mempresentasikan segala potensi budaya dan ragamnya. Langkah ini sebagai alternatif antisipatif terhadap marjinalisasi budaya di dalam negeri sendiri. Kontaminasi ini menunjukan angka erosi penghayatan terhadap nilai-nilai budaya yang semakin meningkat.

Kembali ke persoalan media, secara aplikatif media masa (cetak dan elektronik) menjadi sarana untuk dapat mempresentasikan segala potensi budaya secara representatif. Khalayak akan semakin mudah mengakses segala bentuk informasi budaya negeri sendiri. Kekayaan negeri ini masih banyak yang belum terjamah oleh mata masyarakat. Apalagi sampai kepada eksposi dari sebuah media yang mempresentasikannya. Ironisnya, banyak pihak asing yang akan dan bahkan telah menguasai potensi dan kekayaan budaya dan wisata di Indonesia. Hal ini perlu diketahui oleh masyarakat sebagai akar rumput penguatan budaya daerah di seluruh pelosok nusantara. Harus ada pembelaan terhadap tradisi dan nilai-nilai kebudayaan negeri serta produk dalam negeri sebagai khazanah kekayaan hasil karya anak bangsa. Kesadaran peran serta media dalam negeri, untuk melakukan pembelaan terhadap eksistensi dan kelestarian budaya bangsa.

Peran budaya ketimuran dimiliki secara utuh oleh bangsa Indonesia yang menunjukan etika sosial dalam pergaulannya. Pasalnya karakter bangsa ini perlu dimiliki oleh semua anak bangsa. Sehingga dari paradigma ini akan lahir satu generasi yang secara komprehensif memahami dan mengetahui bangsa dan budayanya serta mencintai produk dalam negeri. Pada kurun waktu yang lalu harian Kompas menghadirkan rubrik wacana tentang gagasan pengajian berwawasan nasionalisme yang dihadiri oleh Hadaratussyaikh KH. Habib Lutfi. Ketika para hadirin diperintahkan untuk berdiri menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya bersama-sama. Dalam forum pengajian ada penanaman nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme yang bernuansa ideologis kebangsaan dalam kerangka keagamaan. Ide ini dapat kita kembangkan melalui wilayah budaya, artinya dalam menggagas sebuah bangunan nasionalisme yang kokoh, harus di topang oleh konstruk akar wawasan budaya bangsa yang integral. Maka gagasan terkait pengajian berwawasan nasionalisme akan lebih lengkap dengan kajian dan pendekatan budaya.

Pondok Pesantren sebagai lembaga Islam tertua di negeri ini, akhir-akhir ini mengalami perubahan yang sangat signifikan dalam ranah berbangsa dan bernegara. Ketika bersinggungan dengan persoalan politik, ekonomi bahkan sampai nasionalisme dan patriotisme. Pesantren sebagai basis ilmuwan dan agamawan paling tidak menjadi pilot project dalam meneruskan ide dasar untuk dapat melakukan pendekatan terhadap nilai-nilai nasionalisme melalui pengajian berwawasan nasionalisme. Kemudian pesantren dapat mengkolaborasikan antara sistem yang ada di dalam pesantren itu sendiri dengan kebutuhan akan pemahaman akar budaya bangsa Indonesia. Pengajian dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan budaya yang kemudian konsen terhadap bagaimana transformasi ilmu agama dengan konteks masyarakat Indonesia yang notabene majemuk dan plural. Bahkan ketika sekarang ini bermunculan aliran sesat dan menyesatkan yang kebanyakan ada formula mencampuradukkan antara dua kultur atau lebih yang berbeda menjadi satu yang disebut sebagai aliran sempalan baru. Maka kita sepakat dengan pendekatan dakwah yang dilakukan oleh para Walisongo sebagaimana melakukan transformasi ilmu agama melalui jalur pendekatan budaya (culture approach).

Melihat deskripsi diatas, ketika bangsa ini dihadapkan pada modernitas dan cengkeraman kontaminasi barat, maka dimulai dari improvisasi metode dan inovasi tradisi yang ada di pesantren dengan mencoba melihat dengan analisis teks dan konteks keindonesiaan yang semakin marak akan krisis dimensional. Pesantren menjadi laboratorium bagi kajian dan pengajian berbasis atau berwawasan budaya dengan menggunakan analisis teks (baik nash maupun as-sunnah) dan bagaimana mengkontekstualisasikan pada wilayah publik. Sehingga generasi muda akan mendapatkan satu pengetahuan yang multikultral dalam tananan dan orientasi dasar pendidikan pesantren. Selain itu, akan terbentuk satu mainstream bahwa perubahan terjadi diluar dugaan kita sebagai pribadi yang selalu dinamis. Kemudian sebagai langkah proteksi terhadap generasi muda Islam Indonesia dalam mengkaji pemahaman ajaran agama dalam masyarakat plural dan majemuk Indonesia.

Man arafa nafsahu arafa rabbahu, “barangsiapa mengenal dirinya maka dia akan mengenal Tuhannya”. Barangkali kita dapat ibda binnafsi mengilhami dan mengkontekstualisasikan pada rasa integritas terhadap bangsa dan negara. Bahwa barangsiapa mengenal budayanya maka dia akan mengenal bangsanya sendiri.

Sabtu, 23 Januari 2010

MEWUJUDKAN MENTAL POLRI YANG PROFESIONAL, TEGAS, HUMANIS DAN BERMORAL



Oleh :
MUSMUALLIM, S.Pd.I
DKC Banyumas

A.Latar Belakang Masalah
Beberapa waktu yang lalu, sekitar bulan Januari 2009 tepatnya pukul 21.30 WIB, saya dan kawan saya persisnya didepan pusat pertokoan jalan raya Kebondalem Purwokerto, dihadang oleh petugas polisi Satlantas Polres Banyumas, ditanya SIM, STNK dan macam-macam.
Singkatnya, saya terkena Tilang karena roda motor saya tidak standar alias kekecilan. Dengan segala perasaan tidak tentu, saya digiring oleh petugas polisi tersebut ke pos polisi Sri Maya Purwokerto. Melalui proses negosiasi dan tawar menawar yang cukup alot, akhirnya saya membayar dengan sukarela dan ikhlas sejumlah Rp. 15.000,-. Pak polisi bilang, berapapun yang akan diberikan harus ikhlas, sebab kalau tidak ikhlas nanti uangnya tidak enak dimakan.1
Pada rasio bulan Mei 2009, motor saya dipinjam oleh kawan saya, sesampai di Karangklesem Purwokerto, dia dihadang oleh Patroli Tilang Satlantas Polres Banyumas. Kawan saya harus menyelesaikan urusannya dikantor, dia minta bantuan polisi kenalannya, namun itu semua tidak mengurangi denda yang harus diberikan, kawan saya harus menyerahkan uang denda sejumlah Rp. 70.000,-. Pelanggaran yang dilakukan diantaranya warna motor yang tidak sesuai dengan STNK, tidak membawa SIM. Padahal harapannya, dengan dibantu oleh petugas polisi kenalannya, akan diringankan jumlah dendanya.2
Dua peristiwa diatas merupakan sederetan peristiwa yang sering kita jumpai, bahkan tidak menutupkemungkinan kita pernah mengalaminya. Kejadian diatas memberikan persepsi tersendiri bagi kita, bagaimana seharusnya perilaku seorang petugas polisi yang notabene adalah penegak hukum. Terjadi kontradiksi atas kedua peristiwa diatas, disatu sisi petugas polisi tidak mempunyai bargaining dalam menentukan keputusan hukum atau denda yang diberikan kepada pelanggar pengguna kendaraan bermotor. Negosiasi antara si pelanggar dengan anggota polisi, mencerminkan sebuah kelemahan bagi anggota polisi sebagai penegak hukum. Kalau dianalogikan, ibarat tawar menawar yang terjadi di pasar, antara pembeli dengan penjual. Anggota polisi tidak lebih dari penentu harga (penjual) dan si pelanggar menjadi sang pembeli yang mencoba melakukan penawaran.
Disisi lain, polisi memiliki komitmen dan karakter dalam menentukan keputusan hukum atau denda bagi pelanggar. Tindakan ini menunjukkan i’tikad baik bahwa Polri tidak nepotis, tidak membedakan kelas masyarakat atau tidak pandang bulu dalam memberikan sanksi pelanggaran. Bantuan dari anggota polisi tidak mampu mempengaruhi proses pemberian sanksi hukum. Artinya, polisi tetap tegas dan profesional, sehingga ketegasan seperti ini dapat memberikan citra positif bagi jajaran Polri di tengah masyarakat.
Kontradiksi ini mengisyaratkan bahwa dalam tubuh Polri masih memiliki kerapuhan character building, baik secara individu maupun secara kelembagaan. Mentalitas dan karakter yang dimiliki anggota Polri harus dibangun dalam kerangka profesional, tegas, humanis dan bermoral. Karena selanjutnya, nilai humanitas akan memperkokoh bangunan masing-masing individu dalam teamwork yang berujung pada pola hubungan yang humanis dalam tatanan sosial masyarakat. Kemudian nilai moral akan memberikan nuansa etika dan estetika yang berketuhanan dan berkesusilaan.
Dua cerita diatas menyadarkan kita pada satu kerangka kesadaran bersama untuk membangun mentalitas dan karakter penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. Kesadaran bersama merupakan fondasi membangun cita-cita reformasi Polri, membawa refleksi sejarah atas segala aktivitas yang telah dan akan dilakukan.
Kuntowijoyo menyebutkan bahwa peristiwa sejarah akan hilang begitu saja jika tidak ditemukan oleh sejarawan. Sebagai kejadian, perbuatan, pemikiran, perasaan dari masa lampau, suatu actual occurance di tempat dan pada waktu tertentu, peristiwa sejarah mempunyai kedudukan ontologis sebagai thing-in itself yang lepas dari pengetahuan manusia.3 Sebagaimana dua peristiwa tersebut diatas yang memberikan pembelajaran yang kurang bermartabat dan tidak profesional dimata masyarakat. Semakin oknum polisi melakukan kesewenang-wenangan atau penyimpangan tugas, semakin akan memperburuk citra polisi, baik secara individu maupun secara kelembagaan.
Sehingga dalam konteks ini, bagaimana Polri mampu melakukan rekonstruksi pembangunan bagi sumber daya manusia yang dapat menjalankan tugasnya degan baik, profesional, tegas, humanis dan bermoral sesuai dengan kondisi riil masyarakat kekinian. Sebagai penegasan atas komitmen kemitraan Polri dengan masyarakat dan cita-cita luhur reformasi Polri untuk dapat diimplementasikan guna mewujudkan masyarakat yang sejahtera dan berkeadaban.

B.Pencitraan Positif Polri
Sebelum melakukan perubahan disegala bidang, yang lebih esensial untuk dilakukan rekonstruksi adalah pencitraan diri yang positif dalam tubuh Polri sendiri. Menjaga nama, harkat dan martabat merupakan harga mahal bagi sebuah institusi negara. Pasalnya, masih ada oknum polisi melakukan inkonsistensi dalam bertugas, paling tidak peristiwa diatas memberikan pelajaran berharga bagi citra positif pada Polri. Melalui pencitraan positif, maka hubungan dengan masyarakat dalam kerangka kemitraan Polri akan mudah untuk direalisasikan.
Sampai hari ini, polisi masih dianggap pihak yang terkadang justru mempersulit urusan hubungan sosial dalam masyarakat. Kesan yang terang masih menempel bahwa polisi dianggap sosok yang sangar, otoriter, tidak berpihak dengan masyarakat. Terkadang kita merasa malu apabila dijalanan harus berurusan dengan polisi, walaupun kita salah, namun seolah-olah berurusan dengan petugas polisi merupakan perihal yang buruk. Image polisi dimata masyarakat masih dianggap sebelah mata, artinya secara kelembagaan baik, namun tidak bisa kita pungkiri bahwa banyak kasus yang terjadi menyangkut tindakan atau perilaku oknum polisi yang tidak sesuai dengan aturan sosial masyarakat bahkan aturan hukum itu sendiri.
Dalam kaitannya dengan kehidupan sosial masyarakat, polisi juga hidup dalam sistem sosial budaya masyarakat. Maka anggota polisi secara individu juga harus mengetahui norma yang berlaku dimasyarakat. Norma tata kelakukan (mores), kebiasaan yang tidak semata-mata merupakan cara bertingkah laku, tetapi merupakan norma yang mengatur, menyuruh atau melarang sesuatu perbuatan dilakukan. Berfungsi untuk memberikan batas-batas tingkah laku seseorang (melarang atau menyuruh), mengidentifikasikan seseorang dengan kelompoknya dan mengikat solidaritas anggota kelompok atau masyarakat.4
Cita-cita untuk merealisasikan kemitraan Polri dengan masyarakat harus diimbangi dengan langkah-langkah yang bersinergi dengan kebutuhan lingkungan masyarakat. Memberikan ruang untuk berdemokrasi bagi masyarakat, membangun hubungan harmonis dengan masyarakat sebagai mitra polisi. Melakukan pencitraan diri (ibda binnafsi) dimata masyarakat dengan berperilaku, bersikap dan memberikan pelayanan dengan sepenuh hati, tidak membedakan kelas dalam masyarakat.

C.Kemitraan Polri; Dari, Oleh dan Untuk Masyarakat
Seiring perkembangan tingkat pendidikan dan partisipasi masyarakat dalam ruang publik, asumsi masyarakat atas sikap polisi yang terkesan sangar dan menakutkan mulai mengikis. Konsep kemitraan Polri dengan masyarakat merupakan wujud humanisasi Polri untuk lebih melibatkan dan merangkul masyarakat dalam aktivitasnya. Menjadikan institusi Polri sebagai sentra pelayanan publik yang lebih mengedepankan kepentingan masyarakat. Bukan kepentingan pemenuhan birokrasi Polri yang bersifat administratif finansil, yang cenderung menyulitkan dan menghambat proses penyelesaian masalah hukum. Maka reformasi di tubuh Polri harus diiringi dengan upaya demokratisasi yang berbasis kerakyatan, yaitu dari, oleh dan untuk masyarakat. Secara praktis, masyarakat dilibatkan dalam upaya penentuan arah kebijakan dan aktivitasnya.
Sebagaimana disebutkan dalam tugas pokok Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), sesuai dengan Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 pasal 38, bahwa Kompolnas bertugas membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri. Kompolnas berwenang untuk mengumpulkan dan menganalisis data sebagai bahan pemberian saran kepada Presiden yang berkaitan dengan anggaran Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengembangan sumber daya manusia Kepolisian Negara Republik Indonesia dan pengembangan sarana dan prasarana Kepolisian Negara Republik Indonesia, memberikan saran dan pertimbangan lain kepada Presiden dalam upaya mewujudkan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang profesional dan mandiri dan menerima saran dan keluhan dari masyarakat mengenai kinerja kepolisian dan menyampaikannya kepada Presiden.5
Setidaknya kehadiran Kompolnas memberikan ruang publik kepada masyarakat untuk bersama-sama memberikan aspirasi, saran dan masukan yang konstruktif. Tinggal bagaimana mengoptimalkan peran dan tugas Kompolnas dalam menjalin komunikasi dengan masyarakat, melibatkan masyarakat dalam menentukan arah kebijakan Polri dalam melakukan tugasnya. Secara independen Kompolnas memiliki ruang tugas yang signifikan dengan ruang demokratis bagi keterlibatan masyarakat. Memberikan kesempatan masyarakat untuk mengadukan segala problematika yang terjadi secara terbuka dan demokratis.
Namun ironis, masyarakat kini semakin berani dan kebablasan cerdas, perkembangan masyarakat semakin melaju cepat. Kehidupan sekarang lebih berorientasi pada materi dan instan. Kondisi demikian mengakibatkan sebagian masyarakat lebih berani untuk melanggar tatanan hukum, menggunakan segala cara untuk dapat mencapai tujuannya, bahkan kurang bisa menghargai dan cenderung menyepelekan hukum dan polisi sebagai penegak hukum. Dalam kondisi yang serba instan, polisi harus pandai memilih dan menganalisa realitas, tidak tergerus oleh arus negatif globalisasi, tidak mudah terbawa oleh proses instan emosionalitas masyarakat. Sehingga dalam konteks ini, bagaimana Polri melakukan pendekatan dan menjalin kemitraan dengan masyarakat yang berbasis demokratis yaitu dari, oleh dan untuk masyarakat.
Kemitraan dilakukan melalui pendekatan struktural dan kultural masyarakat. Pendekatan struktural tentunya lebih dititikberatkan kepada hubungan komunikasi birokrasi dan kerjasama dengan instansi atau lembaga tertentu, baik pemerintah maupun swasta. Kemudian pendekatan kultural masyarakat dilakukan sebagaimana falsafah hidup orang Jawa yang lebih mengedepankan sikap gotong royong saling membangun rasa asah, asih dan asuh. Demokratisasi Polri melibatkan masyarakat dalam menentukan arah kebijakannya, tentu hal ini harus disinergikan antara program-program Polri dengan tingkat kebutuhan masyarakat, sehingga konsep kemitraan dapat terwujud dan dinamis dengan tatanan kehidupan sosial masyarakat yang merdeka, adil dan beradab sebagaimana disebutkan dalam Pancasila dan UUD 1945.

D.Reformasi Polri; Hapus Budaya KKN
Dalam menghadapi era modern abad 21 yang penuh dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir, secara internal tantangan Polri kedepan sangat sentral, yaitu menyangkut: Pertama, profesional, dimana anggota Polri mampu melakukan tugas pokoknya, tidak terpengaruh adanya intervensi dari pihak manapun, melaksanakan tugas secara transparan dan akuntabilitas serta menguasai ilmu pengetahuan, terampil dan mahir tentang fungsi teknis Polri. Kedua, bermoral, menjunjung tinggi norma-norma agama sesuai dengan keyakinannya, menjunjung etika dan sopan santun dalam melaksanakan tugas serta bebas dan bersih dari KKN.
Ketiga, modern, dapat mengikuti perkembangan situasi dan kondisi tentang globalisasi serta teknologi masa kini serta mampu mengetahui pergeseran nilai, sikap dan mentalitas sesuai dengan tuntunan atau kebutuhan masyarakat. Keempat, kultur perpolisian demokratis dan sipil, menjunjung supremasi hukum dan HAM dalam rekruitmen polisi, dilaksanakan secara transparan dan akuntabilitas publik, proactive policing atau kepedulian dan ketanggapsegeraan, community policing atau perpolisian masyarakat (kemitraan dan kolaborasi untuk pemecahan masalah), setiap tindakan polisi hasilnya wajib diinformasikan kepada masyarakat serta setiap pelanggaran yang dilakukan oleh polisi diterapkan melalui sidang disiplin, kode etik dan peradilan umum.
Budaya KKN dalam tubuh Polri akan semakin memberikan angin negatif kepada masyarakat, memberikan pembodohan kepada anggota polisi itu sendiri maupun kepada masyarakat. Pungutan liar yang dilakukan oleh oknum anggota polisi merupakan bentuk nyata pembodohan terhadap masyarakat. Terlebih lagi dengan praktek tawar-menawar denda pelanggaran, seperti transaksi antara penjual dan pembeli. Tipikal seperti ini merupakan penyakit kronis yang sangat mempengaruhi mentalitas anggota polisi sebagai aparat hukum.
Melihat tantangan internal diatas, maka menghapus budaya KKN dalam tubuh Polri adalah harga mati, artinya katakan tidak untuk melakukan tindakan korupsi. Transparansi data dan anggaran perlu dibudayakan sebagai budaya penegak hukum, seperti pada saat penerimaan anggota Polri baru, tanpa ada embel-embel siapa membawa siapa, berani bayar berapa. Kemudian proses pembayaran denda Tilang dan lainnya dengan istilah nitip, apakah memang uang tersebut masuk ke negara atau memang hanya kong kali kong yang dimanfaatkan oleh oknum polisi tertentu. Pertanyaan ini masih menjadi perdebatan bagi masyarakat, kemana larinya uang itu dan siapa yang nantinya memanfaatkannya. Terlepas percaya atau tidak, yang jelas transparansi data dan anggaran dalam tubuh Polri harus dibudayakan, agar masyarakat tahu bagaimana mekanisme yang sebenarnya dan sejujurnya.
Sebagaimana sejarah Polri bahwa suasana Proklamasi Kemerdekaan RI menjadi catatan sejarah berdirinya Polri, tepatnya pada tanggal 29 September 1945, walaupun memang hari kepolisian diperingati pada tanggal 1 Juli 1946, yang ditetapkan sebagai hari Bhayangkara. Pada masa Republik Indonesia Serikat dan era UUDS 1950, Polri mandiri dibawah Presiden yang bervisi jauh kedepan dan tidak dapat diintervensi oleh kekuatan apapun, bebas korupsi serta tangguh dalam sikapnya bebas dari politik namun harus tahu politik.
Momentum reformasi Polri dimaknai dan diimplementasikan sebagai tonggak perubahan secara bertahap dan menyeluruh. Diawali dengan penghapusan KKN seakar-akarnya, yang telah lama menjangkit dalam tubuh Polri. Dengan kondisi Polri yang bersih dari KKN, maka selanjutnya konsep kemitraan, dapat dikolaborasikan menjadi pola hubungan harmonis yang akan tetap terbangun dalam kerangka mutualisme, konektivisme dan kolektivisme antara Polri dengan masyarakat.

E.Membangun Harmonisasi dengan Masyarakat
Konflik akibat perbedaan SARA masih mewarnai kehidupan kita dalam berbangsa dan bernegara. Sebagai negara bangsa, tanah air Indonesia masih rawan dengan perpecahan akibat sentimen SARA. Sebenarnya perbedaan SARA, sudah bukan saatnya lagi menjadi penghalang bagi segenap bangsa untuk maju dan berkreativitas. Karena kita tahu bhineka tunggal ika sebagai falsafah hidup bangsa, rakyat diberikan kebebasan untuk memeluk agama, mengemukakan pendapat di ruang publik dan sebagainya sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
Namun akhir-akhir ini, bukan lagi isu SARA yang menjadi pemantik terjadinya konflik, tapi lebih kepada karena perbedaan pilihan dalam berpolitik. Kedewasaan berpolitik sebagian masyarakat Indonesia masih dipertanyakan. Hak dan kewajiban yang melekat dalam demokrasi tidak secara alamiah diberikan atau secara universal dipilih; hak dan kewajiban itu memerlukan suatu keputusan atau komitmen terhadap pandangan bahwa dalam komunitas politik seharusnya warganegara yang dewasalah yang menentukan secara bebas syarat-syarat perhimpunan mereka sendiri dan perjalanan pemerintahan mereka.6 Hanya persoalan beda pilihan partai politik dan kepentingan, sampai menyebabkan konflik antar saudara bahkan sekandung, maka kedewasaan dan kearifan dalam berpolitik harus dibudayakan yang diimbangi dengan kewaspadaan atas permainan kepentingan penguasa.
Pada konteks ini, sejatinya Polri menjadi pioneer perdamaian atas konflik yang terjadi dibelahan bumi nusantara. Menyatukan perbedaan dan mendamaikan pertikaian dan permusuhan. Konflik berkepanjangan akan mempengaruhi terjadinya disintegrasi bangsa yang akan mengancam nilai persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, terlebih sekarang muncul persoalan baru isu konflik berbasis agama yang dibungkus dengan atas nama HAM, tawuran antar suku, perusakan kantor KPU, termasuk konflik ambalat yang belum juga kunjung usai dan sebagainya.
Bukan hanya masyarakat saja yang menciptakan suasana harmonis dilingkungannya, Polri secara kelembagaan dan individu juga harus ikut andil dan mempunyai tanggungjawab dalam proses penciptaan harmonisasi dikalangan masyarakat, terutama bagi daerah rawan konflik dan perpecahan. Dengan menggunakan pendekatan humanis, sebagai metode Polri untuk berinteraksi, beradaptasi dan untuk lebih bersahabat dengan masyarakat. Kemudian menggunakan pendekatan dialogis, metode untuk melakukan mediasi dengan masyarakat, sebagai sarana untuk berkomunikasi dan berkoordinasi, karena proses dialog akan memudahkan dalam menemukan solusi alternatif atas persoalan bangsa. Bukan sebaliknya, polisi menggunakan emosionalitas dan egoisitas dalam menyikapi pertikaian antar kelompok masyarakat, namun lebih mengedepankan humanis-dialogis untuk mendamaikan segala potensi perpecahan dan konflik.

F.Mewujudkan Profesionalitas Polri yang Bermoral
Merealisasikan profesionalisme di jajaran Polri, membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Budaya KKN, penyimpangan, pelanggaran anggota Polri masih mewarnai perpolisian kita. Terlebih dengan maraknya anggota polisi yang menggunakan senjata apinya untuk menembak musuh pribadinya, saudaranya bahkan keluarganya sendiri. Penggunaan senjata api yang semaunya sendiri dan tidak pada tempatnya, mengakibatkan nyawa tak berdosa melayang. Potret ini menggambarkan bahwa masih banyak anggota polisi yang lebih mengedepankan egoisitas dan emosionalnya dalam berinteraksi dengan masyarakat.
Profesi sebagai polisi harus dipahami sebagai amanat rakyat, pengayom masyarakat, memberikan pelayanan secara intensif dan manusiawi. Profesionalitas yang diharapkan bukan hanya sekedar jargon yang sehari-hari dilontarkan, namun lebih dari itu mental profesional merupakan cara kerja yang sesuai dengan apa yang menjadi tugasnya, proporsional dan konsisten serta konsekuen. Ketegasan seorang anggota polisi diharapkan mampu memberikan pengamanan dan pengayoman terhadap masyarakatnya. Seorang anggota polisi juga memegang peran penting sebagai leader dalam masyarakatnya. Pemimpin harus menjadi teladan sebagaimana diungkapkan dalam serat wedhatama. Artinya, seorang pemimpin harus mampu membawa kepemimpinan intelektual dan moral.7
Tentunya masih segar dalam ingatan kita, pada bulan Juni 2009, seorang oknum anggota Polri yang notabene adalah Kepala Kepolisian Sektor Rawalo Polres Banyumas, telah melakukan perbuatan asusila.8 Perbuatan negatif itu mencerminkan sosok penegak hukum yang tidak memiliki moralitas yang baik. Anggota polisi yang seharusnya menghilangkan penyakit masyarakat, yang sejatinya melayani, mengayomi dan memberikan perlindungan kepada masyarakat, justru sebaliknya membuat resah masyarakat, memberikan tauladan yang negatif ditengah upaya reformasi Polri.
Bagi masyarakat, ini merupakan aib yang telah menjadi penyakit masyarakat, sebuah tamparan keras bagi loyalitas dan dedikasi yang selama ini dibangun. Namun demikian, kita perlu mengambil hikmah atas peristiwa yang memalukan jajaran Polri ini. Secara internal pimpinan Polri harus mengambil sanksi tegas untuk memberikan efek jera kepada anggota polisi yang melakukan pelanggaran. Selain itu memberikan pembinaan mental dan moral yang intensif kepada jajaran anggota polisi, agar kedepan tidak lagi terjadi perilaku yang menyimpang. Secara eksternal perlu dilakukan pembersihan nama baik, dengan melakukan pendekatan dengan masyarakat.

G.Bersahabat dengan Media Masa
Akhir-akhir ini, Polri telah menggunakan sistem keterbukaan dalam proses penerimaan anggota polisi baru. Terbukti dengan melibatkan kawan-kawan dari LSM untuk ikut berpartisipasi aktif dalam rekruitmen anggota polisi. Langkah ini perlu dikembangkan sebagai sarana komunikasi dengan pihak independen yang mengedepankan akuntabilitas dan kemandirian tanpa intervensi dari pihak manapun.
Proses sosialisasi di media masa merupakan upaya untuk menjalin komunikasi dengan masyarakat, baik secara lisan maupun tulisan melalui radio, televisi, internet, surat kabar dan sebagainya. Seperti yang kita ketahui melalui siaran live dilayar televisi merupakan upaya Polri dalam memberikan informasi tentang perpolisian kepada masyarakat di seluruh belahan bumi nusantara dan luar negeri.
Melibatkan masyarakat, media masa dan LSM dalam aktivitas Polri, merupakan alternatif dalam mengimplementasikan kemitraan Polri dengan masyarakat, terlebih dengan melibatkan LSM yang notabene lebih independen dan transparan. Namun, jangan keliru bahwa terkadang dilapangan masih ditemukan oknum polisi yang masih menggunakan kesewenang-wenangannya kepada pihak pers. Kawan-kawan pers sesekali masih mendapatkan cegatan, larangan, celaan, bahkan tidak menutupkemungkinan mendapat pukulan dari polisi dalam sebuah peliputan. Wartawan dan kawan-kawan pers yang lain merasa dikebiri dan kurang dapat diperlakukan sebagaimana mestinya.
Kesewenang-wenangan ini harus segera dievaluasi dan dilakukan pembenahan, bukan saatnya lagi polisi menutup-nutupi bahkan melarang media untuk melakukan tugasnya meliput segala jenis berita. Polisi adalah sahabat dan mitra masyarakat, sudah jelas, sebagai mitra harus saling bekerjasama dengan baik. Bersahabat dengan media masa, merupakan langkah yang harus terus dikembangkan, memberikan informasi kepada masyarakat tentang seputar dunia perpolisian dalam rangka menyesuaikan situasi dan kondisi kebutuhan perkembangan masyarakat dalam memenuhi asas kekinian yaitu modernisasi, melalui keterbukaan dan persahabatan dengan media masa, akan terbentuk opini publik yang konstruktif.

H.2010; Menuju Masa Keemasan Polri
Persoalan yang muncul dikalangan Polri, lebih disebabkan karena persoalan mentalitas dan karakter yang didukung oleh tingkat kesejahteraan yang kurang. Kita sadari bahwa Polri juga bagian yang integral dari masyarakat, berinteraksi dengan realitas sosial, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya. Anggota polisi juga masuk dalam sistem negara, yang secara administratif dibawah komando Presiden. Untuk itu, perhatian, dukungan dan motivasi sangat dibutuhkan bagi eksistensi, loyalitas dan peningkatan mutu kinerja serta profesionalitas anggota polisi.
Saat ini, beredar kabar bahwa tahun 2010 gaji anggota Polri akan dinaikkan, dengan konsekuensi harus memperbaiki kinerja dan profesionalitas dalam menjalankan tugas. Tentunya ini akan disambut baik dan gembira oleh keluarga besar Polri, ditingkat Mabes sampai Polsek. Maka diharapkan tahun 2010 mendatang menjadi tahun emas bagi anggota Polri. Upaya memperbaiki kinerja sebagai konsekuensi menjadi tanggungjawab Polri baik sebagai lembaga maupun sebagai individu anggota polisi. Mereka juga mempunyai keluarga, sanak saudara dan famili layaknya masyarakat lainnya yang memerlukan kebutuhan ekonomi, perhatian dalam interaksi sosial, kebutuhan sandang, pangan, papan dan sebagianya.
Ketika kesejahteraan anggota polisi diperhatikan dan direalisasikan, maka idealnya profesionalitas kinerja polisi juga meningkat. Artinya bahwa segala daya dan upaya akan dilakukan oleh Polri demi perbaikan apabila kesejateraan anggota polisi diperhatikan, yaitu dengan dinaikkannya gaji insentif bagi anggota Polri. Guna mewujudkan tahun emas bagi jajaran Polri, seyogyanya mulai dari sekarang langkah alternatif dan taktis harus segera dilakukan, mulai dari pencitraan positif, penghapusan budaya KKN, meningkatkan mental profesional, tegas, humanis dan bermoral serta lain sebagainya.

I.Kesimpulan dan Implikasi
Hubungan Polri dengan masyarakat merupakan miniatur kemitraan yang saling bersahabat dan bergotong-royong membangun terciptanya keadilan, keamanan dan kesejahteraan bangsa Indonesia. Reformasi Polri diejawantahkan pada demokratisasi yang melibatkan masyarakat dalam menentukan arah kebijakan Polri menuju masyarakat yang berkeadaban. Dua peristiwa diatas, menggambarkan bahwa citra positif Polri harus selalu dijaga, dibangun secara kontinue dengan mengacu kepada mental profesional, tegas, humanis dan bermoral serta bersih dari KKN. Berpartisipasi aktif dalam proses harmonisasi masyarakat, memberikan ruang aspirasi kepada masyarakat menuju masa keemasan Polri.
Implikasi dari uraian diatas yang dapat direkomendasikan sebagai berikut: 1) Polri menjaga citra nama baik dengan selalu berperilaku profesional dan bermoral, 2) Menggunakan pendekatan humanis-dialogis dalam setiap menghadapi persoalan dimasyarakat, 3) Transparansi dengan masyarakat dan optimalisasi kerjasama dengan institusi lain, baik lembaga pemerintah maupun swasta, termasuk LSM dan media masa menuju kultur masyarakat demokratis.


DAFTAR PUSTAKA

Ary H Gunawan, Sosiologi Pendidikan Suatu Analisis Sosiologi Pelbagai Problem Pendidikan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000.

David Held, Demokrasi dan Tatanan Global Dari Negara Modern hingga Pemerintahan Kosmopolitan, Penerjemah: Damanhuri, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Harian Radar Banyumas, Juni 2009.

http://kompolnas.go.id, diakses pada 6 Juli 2009.

Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat Edisi Paripurna, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.

Mulyana, Demokrasi dalam Budaya Lokal, Penyunting: Mulyana, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005.

Rabu, 20 Januari 2010

REKONSILIASI BUDAYA UNTUK INTEGRASI BANGSA



A. Pendahuluan
Khazanah budaya Indonesia lahir sebagai hasil sentuhan tangan kreatif bangsanya. Melalui hasil cipta, rasa dan karsa manusia, kebudayaan lahir sebagai entitas dan identitas serta simbol bagi sebuah peradaban. Entitas budaya memberikan interpretasi bagi eksistensi pemiliknya. Sementara, identitas mengisyaratkan suatu ciri khas yang melekat erat pada kelompok. Kemudian simbol diberikan sebagai falsafah dan nilai kebesaran bagi semangat perjuangan untuk melanjutkan kemajuan peradabannya.
Berangkat dari integritas budaya yang melekat dengan bangsa, proses interaksi masyarakat akan semakin memberikan nuansa perubahan. Kerangka damai dan sejahtera semakin dimiliki oleh antarindividu dan antarkelompok sebagai suatu bangsa atau penduduk suatu negara. Perdamaian dikalangan para kelompok merupakan harga mahal bagi berlangsungnya integritas bangsa. Maka budaya sebagai entitas masyarakat menjadi perekat dan pemersatu untuk mendirikan negara kesejahteraan.
Keindahan khazanah budaya bangsa berjalan beriringan dengan proses dinamisasi (yang cenderung modern) masyarakat. Proses perubahan budaya telah mulai sejak peradaban barat merasuk ke dalam keanekaragaman bangsa Indonesia, tepatnya ketika budaya pasar menggerus sektor perekonomian. Budaya bangsa terkotak-kotak akibat munculnya kelas dalam masyarakat, yang tiada lain tumbuh bersemi proses kapitalisasi dan sekularisasi dari pola interaksi pasar.
Kuntowijoyo mendeskripsikan bahwa perubahan sosial terjadi ketika masing-masing anggota masyarakat memasuki pasar dengan hubungan kontraktual. Ikatan-ikatan tradisional seperti keluarga, tetangga, profesi dan kepercayaan digantikan oleh ikatan rasional berdasarkan kedudukan kontraktual masing-masing dengan lembaga-lembaga ekonomi. Masyarakat terkooptasi menjadi kelas-kelas sosial, membedakan kelas dengan ukuran modal (harta) atau memisahkan antara kaum kaya dan kaum miskin.
Keberadaan masyarakat yang semula tata tentrem karta raharja menjadi situasi gelisah, panik dan bingung bagaimana bisa bertahan hidup. Konsep gotong-royong yang menjadi falsafah hidup bangsa, yang selalu mengedepankan sepi ing pamrih rame ing gawe dan saling asah, asih, asuh satu sama lain dalam membangun peradaban, semakin tergerus oleh adanya kasta atau kelas sosial dalam masyarakat. Membedakan antara kaum buruh dengan para pemilik modal.
Sikap individualistik menjadi cerminan bagi kaum pemilik modal, semakin menjamur sifat hedonis dan materialis memisahkan tali persaudaraan sebangsa dan setanah air. Apabila kondisi ini dibiarkan begitu saja, masyarakat akan mudah terbawa arus globalisasi. Negatifnya, masyarakat terkooptasi oleh situasi dan kondisi ekonomi yang semakin rentan dengan perpecahan dan permusuhan. Kondisi semacam ini tidak menutup kemungkinan dan sangat mudah melahirkan sebuah konflik bangsa. Kecenderungan konflik akan semakin jelas ketika ada keberpihakan sistem dari penguasa kepada kelompok tertentu. Baik konflik secara internal kelompok, konflik antarkelompok dan diperparah dengan munculnya konflik horizontal dan konflik vertikal yang berbasis SARA.
Konflik merupakan bagian yang terkadang terjadi dalam kehidupan masyarakat, baik antarindividu maupun antarkelompok yang disebabkan lebih karena perbedaan pendapat yang mendasarinya. Banyaknya perbedaan, dimulai dari bagaimana cara pandang yang digunakan dalam sebuah komunitas tertentu. Perbedaan arah pendapat dapat menyulut bahkan melahirkan sengketa perselisihan, yang secara tidak sengaja muncul dengan sendirinya ataupun sengaja digelindingkan atau direkayasa sedemikian rupa oleh oknum tertentu, agar terjadi suatu konflik.
Perbedaan cara pandang suatu kelompok masyarakat, dipengaruhi oleh proses dialektika, wawasan kebangsaan, tingkat pendidikan, lokalitas budaya, local wisdom, strata sosial, mental spiritualitas dan sebagainya. Perbincangan mengenai konflik sosial yang sering merebah di masyarakat, dewasa ini lebih disebabkan karena faktor kepentingan pihak tertentu, yang diskenariokan secara terstruktur oleh pihak tertentu pula. Rekayasa konflik yang dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab, pada dasarnya akan mencerabut nilai integritas bangsa dan menghancurkan nilai khazanah budaya bangsa. Kebhinekaan Indonesia menjadi terkotak-kotak oleh sebuah kepentingan yang instan-pragmatis.
Perbedaan SARA dipergunakan sebagai media untuk melakukan politik devide et impera, memecahbelah antarkelompok. Segmen masyarakat dipaksakan oleh adanya sistem yang dengan sengaja diterapkan oleh penguasa. Masyarakat dipaksakan untuk melakukan permainan sistem politik, ekonomi, hukum, sosial bahkan budaya. Atas nama keadilan dan kemakmuran, rakyat diperketat cara bersosialisasinya membela hak dan kewajibannya sendiri. Pertarungan memperebutkan kekuasaan semakin memanas dikalangan elit, sehingga berujung pada disorientasi tujuan untuk mewujudkan walfare state.
Dewasa ini, konflik sering terjadi bukan hanya disebabkan oleh persoalan SARA, namun ketimpangan atas keadilan sosial dan HAM mewarnai beberapa peristiwa konflik yang terjadi akhir-akhir ini. Hal ini membuktikan bahwa kepuasan rakyat atas sistem pemerintahan dan tatanan sosial kurang dapat ditransformasikan secara optimal. Kaitannya dengan transformasi keadilan sosial, belum secara komprehensif mengiringi kebijakan pemerintah.
Lantas melihat persoalan tersebut diatas, bagaimana kemudian kehadiran budaya bangsa sebagai instrumen integritas bangsa mampu menjadi perekat perbedaan cara pandang (paradigm), SARA, dan ketimpangan keadilan sosial. Mampu diakumulasikan, diredam dan didamaikan melalui bingkai budaya. Pendekatan budaya (kultur) atas persoalan bangsa, menjadi pilihan efektif dalam mempersatukan perbedaan paradigma, SARA, dan ketimpangan sosial lainnya. Sebab dalam sistem budaya bangsa, tidak melihat perbedaan kelas dalam masyarakat dan perbedaan status sosial.
B. Rekonsiliasi dan Integritas
Kebhinekaan Indonesia sudah berjalan lebih dari 60 tahun. Artinya secara mentalitas, negara kita sudah menjadi negara yang mempunyai kedewasaan dalam berbangsa dan berbudaya. Umur yang sudah lebih dari dewasa ini, dalam konteks internasional, Indonesia dipandang bahkan diakui sebagai negara yang mempunyai kemampuan dan keahlian dalam mengelola dan mempertahankan bangsanya.
Nilai persatuan dan kesatuan bukan lagi diktum yang hanya dihafal dalam teks Pancasila. Namun, diimplementasikan pada kedewasaan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara. Konflik yang sering terjadi, membuktikan bahwa tingkat kedewasaan bangsa ini masih dipertanyakan. Proses kesatuan bangsa harus diimbangi dengan proses pemufakatan dan perdamaian antarindividu, individu dengan kelompok, dan antarkelompok.
Rekonsiliasi hadir sebagai proses pemufakatan atau perdamaian dalam menyamakan persepsi dan cara pandang yang dimiliki oleh individu dan kelompok sebagai bangsa. Selanjutnya, integritas adalah nilai kesatuan bangsa yang dimiliki oleh individu dan kelompok dalam berbangsa dan bernegara. Dua pengertian ini, dalam konteks konflik bangsa, merupakan sebuah definisi yang benilai dalam merajut perbedaan menjadi nilai persatuan untuk membangun bangsa.
Dalam kaitannya dengan konflik, seyogyanya isu perbedaan bukan lagi menjadi pemicu lahirnya konflik berkepanjangan. Pluralitas dan multikultural dalam bingkai bhineka tunggal ika, merupakan kekayaan yang menjadi khazanah budaya bangsa. Apalagi bila satuan budaya daerah menjadi pemicu lahirnya konflik dan perselisihan antar suku tertentu, hal ini menjadi ironis. Maka rekonsiliasi budaya hadir sebagai proses mendamaikan, memanage segala bentuk konflik. Menguatkan satuan budaya untuk ditampilkan sebagai instrumen pembebasan persoalan ketimpangan sosial. Melalui pendekatan budaya dalam kerangka mufakat untuk damai, rekonsiliasi budaya mampu mewujudkan integrasi bangsa.

C. Budaya dan Masyarakat
E.B Taylor mendefinisikan kebudayaan adalah suatu keseluruhan yang kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kecakapan-kecakapan serta kebiasaan-kebiasaan lainnya yang diperoleh atau dihasilkan manusia sebagai anggota masyarakat.
Kebiasaan yang dilakukan masyarakat secara kolektif merupakan wujud nilai persatuan dan kesatuan. Kolektivitas dibangun secara kultural membentuk adat istiadat yang mengandung pelajaran dan pembelajaran bagi masyarakat. Nilai kolektivitas ini nantinya akan bermuara pada struktur masyarakat dalam kerangka integritas bangsa. Kepedulian sosial akan semakin terbangun dari proses integrasi bangsa sebagai perwujudan dari kolektivitas.
Dalam budaya Indonesia, kolektivitas masyarakat digambarkan pada konsep gotong-royong yang menjadi falsafah hidup bangsa. Proses kerjasama yang mengedepankan rasa saling percaya dalam membantu dan menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan, artinya dengan tanpa pamrih masyarakat bahu membahu membangun lingkungannya. Karakter masyarakat Indonesia mempunyai ciri khas universal dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Sebagaimana ciri utama filsafat nusantara umumnya, Jawa khususnya ialah gotong royong, yang secara universal dikenal sebagai filsafat organisme atau filsafat proses. Filsafat ini memandang realitas itu berstruktur (lahir-batin) dan berproses (awal-akhir).
Secara kultural, interaksi dalam masyarakat menggunakan pendekatan humanitas, yang lebih mementingkan kepentingan bersama dan menghargai segala bentuk hak dan kewajiban dari masing-masing. Pendekatan humanitas tidak mengedepankan kelas sosial atau status sosial. Kesetaraan dan keadilan sosial memberikan nuansa kedekatan emosional yang memberikan ruang bebas masyarakat untuk menentukan pilihan hidupnya, membangun diri dan bangsanya yang diikat oleh aturan atau etika sosial dalam masyarakat.
Menurut Koentjaraningrat, masyarakat adalah kesatuan hidup makhluk-makhluk manusia yang terikat oleh suatu sistem adat istiadat tertentu. Sebagai kesatuan yang memiliki adat kebiasaan, masyarakat dalam melakukan aktifitas sosialnya, memperhatikan, menjalankan etika bersosialisasi sebagai konsekuensi yang telah disepakati secara kolektif di tengah kemajemukan dan heterogenitas budaya. Sehingga terjadi pola mutualisme antara masyarakat dengan budaya, yang berjalan seimbang dan terintegrasi dalam dinamika sosial untuk membangun peradabannya.

D. Budaya Sebagai Instrumen Integritas Bangsa
Negara Indonesia mempunyai banyak beraneka ragam budaya. Di Jawa kita mengenal budaya gotong royong, unggah ungguh. Secara material, banyak bentukan hasil karya seni budaya masyarakat, seperti seni wayang, musik calung, angklung, sinden, dan masih banyak lagi. Di daerah lain kita dapat melihat berbagai jenis budaya, seperti budaya Minahasa, Ranah Minang, budaya Suku Dayak dan sebagainya. Belum lagi budaya yang bersifat adat istiadat, sistem kepercayaan, ceremonial yang bersifat sakral, peringatan tertentu, pesta rakyat, kerukunan sosial masyarakat dan sebagainya yang mengandung nilai lokalitas budaya daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
Heterogenitas budaya bangsa ini semakin mewarnai perkembangan keanekaragaman kebudayaan. Aneka ragam, corak, dan warna kebudayaan semakin kaya dan berdiri sejajar dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Lewat perkembangan inilah kemudian, wilayah masyarakat terbagi menjadi dua, yaitu masyarakat modern dan masyarakat tradisional. Pembagian ini terjadi akibat pengaruh dan persinggungan antara budaya murni bangsa dengan sistem pasar, yang pada hakekatnya telah mendikotomikan masyarakat pada ruang kelas (strata) sosial. Harus diakui memang, struktur dalam masyarakat didominasi oleh patahan budaya modern, sehingga harmonisasi yang sudah diciptakan terkadang kikis oleh perbedaan kelas sosial.
Masyarakat modern teraspirasi dengan liberalisme dan demokrasi, sementara masyarakat tradisional lebih menekankan pada otoritas dan kepatuhan. Dalam masyarakat modern batasan dari kebebasan perlu untuk ditetapkan, sementara dalam kebudayaan atau masyarakat yang otoriter, segala tindakan memerlukan ijin. Budaya modern cenderung untuk menekankan pada kedudukan yang sejajar, sementara masyarakat tradisional akan menekankan pada hirarki. Perbedaan ini jelas relevan terhadap transfromasi konflik, yang mendorong penentangan terhadap otoritas yang sudah mulai terlaksana atau terstruktur.
Budaya bangsa yang murni, dalam kondisi apapun akan mempertahankan sebagai diri yang utuh (intergral). Namun bagaimana masyarakat mampu memberikan filter atas reaksi dan masuknya budaya asing serta memberikan keseimbangan. Lebih lanjut, disisi lain modernisasi budaya juga perlu dilakukan sebagai langkah transformasi pada penguatan akar budaya. Mampu beradaptasi dengan perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam konteks ini, dikotomi antara masyarakat modern dengan masyarakat tradisional akan menemukan titik temu kesetaraannya. Persamaan hak dan kewajiban dalam berdemokrasi dan berpendapat.
Budaya menempati posisi sentral dalam rangka membangun integritas bangsa. Pola komunikasi dapat diciptakan melalui aktivitas dan kreativitas budaya, sebagai wahana menciptakan dinamika dan dialektika serta keaksaraan bagi masyarakat, kesatuan visi akan terbangun dalam kerangka budaya. Sistem komunikasi dalam khazanah budaya dijadikan sebagai instrumen integritas bangsa. Akan terjadi saling mengenal antarkelompok, memahami perbedaan mendasar, baik cara berbicara (perbedaan bahasa), adat istiadat, perbedaan suku bangsa, ras, dan agama maupun hasil cipta karya dari masing-masing daerah sebagai produk budaya. Bukan sebaliknya, muncul sentimen lokal dan rasa primordialisme yang menjadi benteng pemisah antarkelompok yang dapat menyebabkan disintegrasi bangsa. Sehingga jelas bahwa, budaya dapat dijadikan sebagai instrumen pemersatu, proses perdaimaian dan persaudaraan sebangsa dan setanah air, guna mewujudkan integritas bangsa.

E. Rekonsiliasi Budaya; Upaya Transformasi Konflik
Rekonsiliasi budaya dilakukan sebagai gerakan mempersatukan dan mendamaikan segala bentuk konflik melalui kerangka budaya. Kasus konflik yang sudah terjadi seperti konflik Poso, Ambon, Irian Barat, dan beberapa kerusuhan lainnya, yang dipicu oleh perbedaan SARA dan egoisme sektarian antarkelompok, harus dijadikan bahan evaluasi dan refleksi bagi pemerintah dan masyarakat. Konflik antar suku pada dasarnya bukan hanya disebabkan oleh faktor perbedaan kepercayaan (ajaran agama) saja. Namun, munculnya konflik, ternyata lebih didominasi oleh egosentris kesukuan atau kelompok, yang cenderung mengedepankan emosionalitas dari pada menggunakan rasionalitas.
Apalagi dekade kemarin, di skala internasional, negara Indonesia diberitakan sebagai negara sarang teroris, akibat kasus pengeboman atas nama jihad di beberapa daerah (seperti: Jakarta dan Bali), yang menewaskan banyak warga asing. Menanggapi ini, tentunya perlu kesadaran bersama antar bangsa. Rekonstruksi untuk mengembalikan citra Indonesia di mata bangsa-bangsa lain, dilakukan dengan merepresentasi, mengejawantah dan menginterpretasi budaya bangsa kepada bangsa lain. Pendekatan budaya dilakukan untuk meredam dan mendamaikan suasana isu serta konflik. Mengembalikan kepercayaan untuk merajut hubungan bilateral antar negara.
Konflik berkepanjangan akan menimbulkan permusuhan yang dapat berujung pada bentrok atau peperangan. Rekonsiliasi budaya sebagai upaya transformasi konflik, memberikan ruang untuk melakukan mediasi, membuka ruang dialog untuk menemukan sebuah solusi penyelesaian konflik. Berdialog dilakukan untuk memberikan kepada ruang publik memahami akar persoalan yang memicu terjadinya konflik.
Sebagai gerakan anti-kekerasan, proses dialogis dilakukan sebagai pendekatan kultural, memahami ranah adat kebiasaan pada suku atau kelompok tertentu. Menekankan pada keadilan dan kesetaraan serta resolusi konflik yang concern pada kepentingan kolektif. Maka sikap saling menghormati, bijak (arif) merupakan kebutuhan dari semua pihak yang terlibat konflik, dan desakan akan sebuah kesamaan kedudukan, adalah faktor yang dapat menciptakan keadilan sosial. Selain itu, kesalehan sosial juga menjadi orientasi dalam kaitannya dengan kondusifitas antarkelompok untuk merajut rekonsiliasi dan transformasi konflik menuju integrasi bangsa.
Sebagaimana Kuntowijoyo menggariskan, bahwa hanya kesalehan yang mempunyai cita-cita pembebasan struktural yang mampu mengantarkan masyarakat dalam keutuhan pada zaman industrialisasi, teknologisasi, dan urbanisasi sekarang ini. Jika tidak demikian, anomie, alienasi, dan kontradiksi akan selalu menghadang di tengah jalan.

F. Toleransi; Upaya Manajemen Konflik
Dalam upaya meminimalisir konflik, maka yang pertama harus dilakukan adalah penanaman kesadaran kepada masyarakat akan keragaman (plurality), kesetaraan (equality), kemanusiaan (humanity), keadilan (justice) dan nilai-nilai demokrasi (democration values) dalam beragam aktifitas sosial. Konflik semestinya menjadikan sebuah refleksi atas perbuatan masyarakat dalam interaksinya. Proses untuk mengidentifikasi, mengolah, dan memberikan gambaran penyelesaiannya. Sehingga memahami konflik bukan hanya sebatas bagaimana mencarikan jalan solusinya, namun proses manajemen konflik; mengklasifikasi persoalan, mengolah, merekam perbedaan, kemudian menyatukan persepsi untuk mediasi dan berdialog.
Terjadinya kasus percekcokan dalam masyarakat harus dipandang sebagai hal yang wajar. Tidak ada masyarakat yang sama sekali terbebas dari konflik. Terdapat adagium Arab yang berbunyi, ridla al-nas ghaya la tudrak (kerelaan semua orang adalah tujuan yang tidak pernah tercapai). Yang tidak wajar adalah jika konflik dan perselisihan itu meningkat sehingga menimbulkan situasi permusuhan dalam bentuk pengkafiran (takfir) satu sama lain.
Perbedaan cara pandang, perbedaan SARA dalam masyarakat, rentan dengan konflik dan permusuhan. Perbedaan ini harus kita pandang sebagai wujud kompleksitas, kemajemukan, dan pluralitas. Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam keanekaragaman, yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, secara objektif harus dipandang sebagai entitas yang mengandung paham pluralisme dan multikulturalisme.
Lebih jauh Nurcholish Madjid sebagaimana yang dikutip oleh Nasruddin Anshoriy Ch, memberikan uraian bahwa pluralitas tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka-ragam yang terdiri dari berbagai suku dan agama. Jika hanya demikian, kita justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekadar sebagai ”kebaikan negatif” (negative good), yang hanya ditilik dari kegunaannya menyingkirkan fanatisme (to keep fanaticism at bay). Pluralisme harus dipahami sebagai ”pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban” (genuine engagement of divesitis wthin the bond of civility).
Sikap toleransi dalam berbangsa, bernegara, dan berbudaya terutama dalam merespon pluralitas bangsa, perlu ditanamkan dalam masyarakat kita. Adanya saling pengertian, tenggang rasa, gotong royong, saling menghargai dan menghormati merupakan proses-proses dialogis yang harus dipahami bersama secara individu maupun secara kelompok. Perbedaan bukan kendala untuk bersatu, justru dengan keanekaragaman bangsa, akan mendewasakan individu maupun kelompok dalam memahami pluralitas bangsa. Toleransi merupakan wujud kedewasaan seseorang, terutama kaitannya dengan menghargai dan menghormati kebebasan dalam beragama, pilihan dalam politik, perbedaan suku bangsa, hak asasi manusia, dan sebagainya.

G. Rekonsiliasi; Persekutuan Budaya Untuk Keadilan Sosial
Setelah masyarakat memiliki karakter, bentukan integritas terwujud akibat adanya persekutuan budaya daerah yang memperkaya khazanah keanekaragaman budaya. Integritas budaya sebagai modal bangsa untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa. Terutama dalam mendongkrak stabilitas sosial, ekonomi, dan politik. Kesamaan dan kesetaraan antarkelompok atau suku bangsa dalam mengintegrasi budaya untuk mengusung keadilan sosial.
Jika sikap menghormati dan demokratis merupakan unsur penting dalam proses pembangunan maka keadilan sosial adalah sasarannya. Singkatnya, jika pembangunan mempunyai tujuan untuk menciptakan prasarana-prasarana kesejahteraan segenap anggota masyarakat maka prasarana-prasarana itu pertama-tama harus diciptakan bagi mereka yang paling lemah. Itulah yang dituntut oleh keadilan sosial.
Rekonsiliasi sebagai proses pemufakatan dan perdamaian, mengajak segenap bangsa melakukan pemenuhan atas kebutuhan pemahaman wawasan kebangsaan dan kebudayaan. Pluralitas bangsa dan integritas budaya merupakan rahmat yang harus dijaga dan dimanage. Banyak perbedaan yang semakin kompleks, menuntut adanya proses mediasi dan refleksi sebagai langkah komunikasi menyatukan persepsi untuk mencari sebuah solusi yang mendamaikan dan menampung semua aspirasi.
Masyarakat cenderung lebih cerdas, instan dan pragmatis dalam menetukan pilihan politiknya. Lebih dari itu, masyarakat dalam memahami pendidikan politik yang sebenarnya menjadi bias. Pasalnya, pelaksanaan pemilu legislatif 2009, memberikan implikasi pemahaman sempit akan politik. Masyarakat lebih memahami politik sebagai permainan money politic.
Siapa yang memiliki uang (modal) banyak, maka dia akan menjadi seorang anggota legislatif. Tapi bagi mereka yang minim modal, kecil kemungkinan dapat lolos menjadi anggota legislatif dan akan menjadi bahan tertawaan orang-orang disekelilingnya. Realitas ini memberikan dampak buruk bagi penanaman nilai-nilai demokrasi (democration values), politik hanya dimaknai sebagai proses pemenangan bagi mereka yang memiliki modal besar, yang suatu saat nanti akan mengharapkan modalnya bisa kembali ke tangannya.
Digambarkan oleh Dosen Ilmu Politik Univesitas Indonesia, Andrinof Chaniago, bahwa Indonesia saat ini sedang paceklik calon pemimpin nasional. Pasalnya, menjelang pemilu presiden, bangsa ini belum tahu siapa saja kandidat yang bakal maju, kecuali inkumben dan sederet nama tokoh politik lama yang selama ini sudah beredar. Kalau sekedar ada, sebetulnya memang ada calon pemimpin. Tetapi kalau sekedar ada dan kualitasnya kurang baik, maka ibarat menanam bibit padi, dibuang sayang, kalau terus ditanam, terpaksa harus mengeluarkan biaya lebih banyak.
Salah kaprah transformasi pendidikan politik yang sedemikian semrawut (banyaknya caleg yang tempramental), mengindikasikan bahwa kedewasaan dan wawasan berpolitik para caleg, partisipan, tim sukses dan sebagian masyarakat kita belum komprehensif. Apalagi pemahaman akan pendidikan politik dihadapkan pada wawasan kebangsaan dan kebudayaan yang kompleks dan multidimensional. Untuk dapat membaca peluang politik, paling tidak seseorang harus mengetahui dinamika perkembangan masyarakatnya, dapat berinteraksi dan bersosialisasi dengan masyarakat melalui pendekatan budaya. Maka dalam konteks ini, wawasan tentang keindonesiaan berbasis budaya perlu direaktualisasikan melalui ranah transformasi pendidikan.
Pendidikan sebagai proses enkulturasi dalam kerangka nation-building berarti proses melembagakan nilai-nilai baik yang berupa warisan leluhur, nilai-nilai masyarakat industri, nilai-nilai nasionalisme kultural maupun nilai-nilai-nilai ideologi negara-bangsa pada umumnya dan Pancasila khususnya. Sebagai totalitas, nilai-nilai tersebut berkembang untuk mewujud pada tingkat individual dan kolektif sebagai etos kebudayaan nasional.
Penguatan nilai-nilai keindonesiaan yang mengedepankan kebhinekaan memberikan ruang gerak kepada segenap bangsa untuk mendapatkan keadilan sosial. Ruang gerak ini secara bebas diikat oleh kekuatan tatanan budaya yang telah mengakar di masyarakat. Sehingga pada akhirnya, kedewasaan dalam berbangsa dan berbudaya terutama dalam etika dan kearifan berpolitik akan tercipta pada setiap individu maupun kelompok, bersinergi menuju terciptanya keadilan sosial yang berkeadaban.

H. Kesimpulan
Perbedaan cara pandang (paradigm) dan SARA merupakan keniscayaan bagi bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebhinekaan. Rekonsiliasi budaya sebagai proses pemufakatan dan perdamaian atas perbedaan budaya dan adat istiadat, mengajak segenap bangsa melakukan pengayaan terhadap wawasan kebangsaan dan kebudayaan. Budaya bangsa menjadi instrumen strategis dalam proses transformasi konflik yang menginginkan terciptanya integrasi bangsa. Bhineka Tunggal Ika yang menjadi platform bangsa, memberikan ruang gerak kepada masyarakat untuk berapresiasi dan mendewasakan diri serta bertoleransi atas pluralitas bangsa menuju keadilan sosial.

DAFTAR PUSTAKA


Ary H Gunawan, Sosiologi Pendidikan Suatu Analisis Sosiologi Tentang Pelbagai Problem Pendidikan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000.

Damarjati Supajar, ”Jumenengan Filsafat Demokrasi pada Budaya Lokal” dalam Demokrasi dalam Budaya Lokal, Penyunting: Mulyana, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005.

Diana Francis, Teori Dasar Transformasi Konflik Sosial, Alih Bahasa: Hendrik Muntu dan Yossy Suparyo, Yogyakarta: Penerbit Quills, 2005.

Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat Edisi Paripurna, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.

Kompas, edisi 1 Mei 2009.

M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, Yogyakarta: Pilar Media, 2007.

Nasruddin Anshoriy Ch, Dekonstruksi Kekuasaan Konsolidasi Semangat Kebangsaan, Yogyakarta: LKiS, 2008.

______________________, Bangsa Inlender Potret Kolonialisme di Bumi Nusantara, Yogyakarta: LKiS, 2008.